Model-model pembelajaran IPS Mengenai masalah pendidikan
Macam-macam Model Pembelajaran Untuk Mengatasi Masalah
Pendidikan IPS di SD
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Masalah
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada
jenjang pendidikan dasar memfokuskan kajiannya kepada hubungan antar manusia
dan proses membantu pengembangan kemampuan dalam hubungan tersebut.
Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui kajian ini
ditunjukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam kehidupan
masyarakat.
Pendidikan IPS sudah lama
dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum-kurikulum di Indonesia, khususnya
pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan ini tidak dapat disangkal telah
membawa beberapa hasil, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan
pengetahuan sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar relatif cukup,
tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial dan
partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah
tertentu terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses
pendidikan atau pembelajarannya, kurikulum, para pengelola dan pelaksananya
serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya.
Beberapa temuan penelitian dan
pengamatan ahli memperkuat kesimpulan tersebut. Dalam segi hasil atau dampak
pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS terhadap kehidupan bermasyarakat,
masih belum begitu nampak. Perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan di
sekolah belum nampak dalam kehidupan sehari-hari, keterampilan sosial para
sosial para lulusan pendidikan dasar khususnya masih memprihatinkan,
partisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan semakin menyusut.
Banyak penyebab yang
melatarbelakangi pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang
diharapkan. Faktor penyebabnya dapat berpangkal dari kurikulum, rancangan,
pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran. Berkenaan
dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS, beberapa penelitian memberi
gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil penelitian Balitbang, Depdikbud tahun
1999 menyebutkan bahwa “Kurikulum 1994 tidak disusun berdasarkan basic
competencies melainkan pada materi, sehingga dalam kurikulumnya banyak
memuat konsep-konsep teoritis” (Boediono, et al. 1999: 84). Hasil evaluasi
kurikulum IPS SD tahun 1994 menggambarkan adanya kesenjangan kesiapan siswa
dengan bobot materi sehingga materi yang disajikan, terlalu dianggap sulit bagi
siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas pembelajaran dan
buku sumber, kesulitan menejemen waktu serta keterbatasan kemampuan melakukan
pembaharuan metode mengajar (Depdikbud, 1999).
Dalam implementasi materi Muchtar,
SA. (1991) menemukan IPS lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada
guru, mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan berpikir
nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan berpikir kritis. Dalam
pelaksanaan Soemantri, N. (1998) menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan
karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang
antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal menurut
Sumaatmadja, N. (1996: 35) guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat
siswa karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS.
Selanjutnya Como dan Snow (dalam
Syafruddin, 2001: 3) menilai bahwa model pembelajaran IPS yang diimplementasikan
saat ini masih bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan
secara optimal. Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa
di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan-tujuan spesifik
pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Model pembelajaran saat
ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan real
siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan administratif dan
belum mengembangkan potensi anak secara optimal.
Berdasarkan hal-hal di atas nampak,
bahwa pada satu sisi betapa pentingnya peranan pendidikan IPS dalam
mengembangkan pengetahuan, nilai. Sikap, dan keterampilan sosial agar siswa
menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun di pihak
lain masih banyak masalah-masalah tersebut diperlukan penelitian berkaitan
dengan pembelajaran IPS. Salah satu upaya yang memadai untuk itu adalah dengan
melakukan model pembelajaran.
2. Rumusan
Masalah
Adapun yang menjadi pokok
permasalahan dari penulisan makalah ini adalah :
1) Apa itu
pendidikan IPS?
2) Apa saja
permasalahan pendidikan IPS di sekolah dasar?
3) Apa yang
dimaksud dengan model pembelajaran?
4) Bagaimana
mengembangkan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan IPS di
sekolah dasar?
3. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1) Untuk
menjelaskan tentang pendidikan IPS.
2)
Menggambarkan permasalahan pendidikan IPS di SD.
3) Untuk
menjelaskan tentang model pembelajaran.
4) Mendeskripsikan
pengembangan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan IPS di SD.
4. Manfaat
Penulisan
Dengan adanya
penulisan makalah yang bertajuk tentang pengembangan model pembelajaran untuk
mengatasi masalah pendidikan IPS di Sekolah Dasar maka seluruh pihak yang
memiliki keterkaitan dengan masalah tersebut bisa memahami apa yang menjadi
pokok permasalahan yang terjadi. Agar nantinya masalah tersebut tidak menjadi
masalah yang menghambat maksud ataupun tujuan yang ingin dicapai. Selain itu
dalam penulisan makalah ini apa yang menjadi solusi dalam pemecahan masalah
bisa ditemukan dan pihak-pihak yang terkait dapat mengembangkan potensi diri
dalam mengelolah teknik model pembelajaran yang baik dan efisien.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pendidikan
IPS
IPS adalah suatu bahan kajian yang
terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi yang
diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah,
Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi (Puskur, 2001: 9). Geografi,
Sejarah dan Antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang
tinggi. Pembelajaran Geografi memberikan wawasan berkenaan dengan
peristiwa-peristiwa dengan wilayah-wilayah, sedangkan Sejarah memberikan
kebulatan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode.
Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai
kepercayaan, struktur sosial, aktivita-aktivitas ekonomi, organisasi politik,
ekspresi-ekpresi dan spritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari
budaya-budaya terpilih. Ilmu Ekonomi tergolong kedalam ilmu-ilmu tentang
kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan.
Sosiologi merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok,
institusi, proses interaksi dan kontrol sosial.
Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS
diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun
kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang
memecahkan masalah-masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang
mengubah dan diubah oleh lingkungannya (Leonard S. Kenworthi, 1981:7). IPS
menggambarkan interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam
lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Interaksi antar individu dalam ruang
lingkup lingkungan mulai dari yang terkecil misalkan keluarga, tetangga, rukun
tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi,
negara dan dunia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa
Pendidikan IPS adalah disiplin ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari berbagai
cabang ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, dan
antropologi yang mempelajari masalah-masalah sosial.
Pendidikan IPS di SD telah
mengintegrasikan bahan pelajaran tersebut dalam satu bidang studi. Materi
pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang
terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka
harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah), dimana
pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada
di pasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli
di pasar (Antropologi) dan berapa jenis-jenis barang yang diperjualbelikan
(Ekonomi).
Dengan demikian Pendidikan IPS di
sekolah dasar adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti yang disajikan pada
tingkat menengah dan universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan,
kematangan jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan,
diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan institusional didaksmen
(Sidiharjo, 1997).
2. Permasalahan
Pendidikan IPS di SD
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial
ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah
sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap
perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap
masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang
menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program
pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan
tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
1) Memiliki
kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui
pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan mastarakat.
2) Mengetahui
dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari
ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
sosial.
3) Mampu
menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk
menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4) Menaruh
perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat
analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5) Mampu
mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive
yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.
Menurut Noman Sumantri bahwa tujuan
Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah:
1) Menekankan
tumbuhnya nilai kewarganegaraan, moral, ideologi negara dan agama.
2) Menekankan
pada isi dan metode berfikir ilmuwan.
3) Menekankan
reflective inquiry.
PIPS menurut NCCS mempunyai tujuan
informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai dan tingkah laku
(attitude and values), dan tujuan keterampilan (skill): sosial, bekerja dan
belajar, kerja kelompok, dan keterampilan intelektual (Jarolimele, 1986: 5-8).
Secara umum, pencapaian tujuan
Pendidikan IPS lulusan pendidikan SD belumlah optimal. Kelemahan tersebut
dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan dan
pembelajarannya.
Dalam proses pendidikan IPS di SD,
pembelajarannya kurang memperhatikan karakteristik anak usia sekolah dasar,
yakni terkait dengan perkembangan psikologis siswa. Menurut Jean Piaget (1963),
anak dalam kelompok usia SD (6-12 tahun) berada dalam perkembangan kemampuan
intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit operasional. Mereka memandang
dunia dalam keseluruhan yang utuh dan menganggap tahun yang akan datang sebagai
waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (=konkrit) dan
bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (=abstrak). Padahal bahan materi
IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti
waktu, perubahan, kesinambungan (continuity) arah mata angin, lingkungan,
ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan atau
kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus
dibelajarkan kepada siswa SD.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka
pembelajaran IPS dapat menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Dan baik
secara langsung maupun tidak akan berdampak pada tujuan pendidikan IPS yang
diharapkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukanlah model
pembelajaran yang sesuai untuk materi IPS di SD dan memperhatikan karakteristik
anak usia SD.
3. Model
Pembelajaran
1) Pengertian
Model Belajar-Mengajar
Dalam
keseharian istilah ‘model’ dimaksudkan terhadap pola atau bentuk yang akan
menjadi acuan. Dalam konteks pendidikan agaknya tidak jauh juga maknanya, yakni
sebagai kerangka konseptual berkenaan dengan rancangan yang berisi langkah
teknis dalam kesatuan strategis yang harus dilakukan dalam mendorong terjadinya
situasi pendidikan; dalam wujud perilaku belajar dan mengajar dengan
kecenderungan berbeda antara satu dengan lainnya atau dengan yang biasanya.
Dengan demikian sebuah model dalam konteks pembelajaran, tidaklah dapat
diterima sebagai sebuah model jika tidak memperliahatkan ciri khususnya sebagai
sesuatu yang berbeda dari yang lainnya. Adapun menurut Sarifudin (Wahab, Azis,
1990: 1) yang dimaksud dengan ‘model belajar mengajar’ adalah “kerangka
konseptual yang melukiskan prosedur yang terorganisasikan secara sistematik
dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar
tertentu, yang berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para
guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar”. Dengan
demikian, model belajar-mengajar khususnya dapat diartikan sebagai satuan cara,
yang berisi prosedur, langkah teknis yang harus dilakukan dalam mendekati
sasaran proses dan hasil belajar hingga mencapai efektifitasnya, menurut
kesesuaian dengan setting waktu, tempat dan subjek ajarnya.
2) Macam-macam
Model Mengajar
a. Model-model
Pemrosesan
Model-model
yang berorientasi pada kemampuan pemrosesan informasi dari siswa dan cara
memperbaiki kemampuannya dalam menguasai informasi, merujuk pada cara orang
menangani stimulus dari lingkungannya, mengorganisasikan data, menginderai
masalah, melahirkan konsep dan pemecahan masalah, dan menggunakan simbol verbal
da non-verbal. Sungguhpun model-model yang termasuk ke dalam rumpun ini
berkesan akademik namun tetap peduli akan hubungan sosial dan pengembangan
diri. Model-model yang termasuk dalam rumpun ini antara lain adalah; Model
Berpikir (Inquiry Training Model), Inkuiri Ilmiah (Scientific
Inquiry), Perolehan Konsep (Concept), Model Advance Organizer (Advance
Organizer Model), dan Ingatan (Memory). Model berpikir yang
dikembangkan Hilda Taba, dirancang terutama untuk pengembangan proses mental
induktif dan penalaran akademik atau pembentukan teori, namun kapasitasnya
berguna pula untuk pengembangan personal dan sosial.
b. Model-model
Personal
Model-model
yang termasuk ke dalam rumpun personal berorientasi pada pengembangan diri
individu, model-model ini menekankan proses pembentukan individu dalam
mengorganosasikan realitasnya yang unik. Fokus pengembangan diri berkesan
menekankan pada pembinaan emosional antara individu dalam hubungan produktif dengan
lingkungannya hingga diharapkan menghasilkan hubungan interpersonal yang lebih
kaya dan kemampuan pemrosesan yang lebih efektif lagi. Terliput ke dalam rumpun
ini adalah; Pengajaran Non-Direktif (Non-directive Teaching), Pelatihan
Kesadaran (Awraness Training), Sinektic (Synectics), Sistem
Konseptual (Conceptual System) dan Pertemuan Kelas (Classroom
Meeting).
c. Model-model
Interaksi Sosial
Model-model
pembelajaran yang termasuk rumpun Interaksi Sosial, menekankan hubungan antara
individu dengan masyarakat dan dengan individu lainnya. Fokus model ini
terletak pada proses di mana dengan proses ini realitas dinegosiasi memberikan
prioritas pada perbaikan kemampuan individu untuk berhubungan dengan yang
lainnya, bergelut dengan proses demokratik dan bekerja secara produktif dalam
masyarakat. Termasuk ke dalam rumpun model ini, antara lain : Investigasi
Kelompok (Group Investigation), Inkuiri Sosial (Social Inquiry),
Metode Laboratorium (Laboratory Method), Yurisprudensial (Yurisprudential),
Bermain Peran (Role Playing) dan Simulasi Sosial (Social Simulation).
d. Model
Behavioral
Model-model yang termasuk ke dalam
rumpun behavioral berpijak pada landasan teoritis yang sama, yakni teori
tingkah laku (Behavioral Theory). Dalam penerapannya, model ini banyak
menggunakan istilah lain seperti teori belajar, teori belajar sosial,
modifikasi tingkah laku, dan terapi tingkah laku. Ciri pokoknya menekankanpada
usaha mengubah tingkah laku teramati ketimbang struktur psikologis yang
mendasarinya dan tingkah laku yang tidak teramatinya. Model ini mendasarkan
pada prinsip kontrol stimulus dan penguatan (Stimulus Control and
Reinforcement). Lebih dari model lainnya model behavioral memiliki
keterpakaian yang luas dan teruji keefektifannya pada aneka tujuan seperti
pendidikan, pelatihan, tingkah laku interpersonal da pengobatan. Tercakup
kedalam model ini, antara lain: Manajemen Kontingensi (Contingency
Management), Kontrol Diri (Self Control), Relaksasi (Relaxation),
Reduksi Stres (Stress Reducation), Pelatihan Asertif (Assertive
Training), Desentisasi (Desensitization) dan Pelatihan Langsung (Direct
Training).
4. Pengembangan
Model Pembelajaran Untuk Mengatasi Masalah Pendidikan IPS di SD
Sejumlah model pendekatan
pembelajaran tersebut diatas, masing-masing mengedepankan keunggulan dalam
mengupayakan pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap pengembangannya,
namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda, harus
dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu tidak sama.
Sekurang-kurangnya dimana, oleh, atau dengan dan terutama untuk siapa proses
pembelajaran dilakukan. Khusus berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran pada
anak usia pertumbuhan, dari sejumlah model tersebut tentunya dapat dirujuk
model pendekatan yang menjadi rujukan di atas dengan sebutan model Cognitive
Emotion and Social Development. Dasar pandangannya adalah “anak merupakan
produk berbagai pengaruh, mulai dari keluarganya, kesehatan, kondisi sosial
ekonomi dan sekolah”. Bahwa masing-masing pendekatan pada pandangan teoritis
berkenaan dengan stressingnya, dalam praktisnya dapat terjadi saling
berkait antara satu pendekatan dengan pendekatan lain secara bersamaan. Untuk
itu, memenuhi keperluan teknis operasional dalam mengembangkan pembelajaran
Pengetahuan Sosial berbasis pendekatan nilai khususnya, berikut dipetikan
langkah teknis sejumlah model pilihan yang dipandang mewakili tuntutan
karakteristik materil, peserta didik dan setting sosial yang menjadi
lingkungan kultur dan belajar SD/MI umumnya di tanah air. Beberapa dari
sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan tersebut, secara parsial terliput
dalam kerangka teknis model pilihan berikut, antara lain: Model Inkuiri, VCT,
Bermain Peta, ITM (STS), Role Playing, dan Portofolio.
1) Model
Inkuiri
a) Makna
Pembelajaran Inkuiri
Model inkuiri
adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada pengembangan
kemampuan siswa dalam berpikir reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah
salah satu model pembelajaran yang dipandang modern yang dapat dipergunakan
pada berbagai jenjang pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga
menengah. Pelaksanaan inkuiri di dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial
dirasionalisasi pada pandangan dasar bahwa dalam model pembelajaran tersebut,
siswa didorong untuk mencari dan mendapatkan informasi melalui kegiatan belajar
mandiri. Model inkuiri pada hakekatnya merupakan penerapan metode ilmiah
khususnya di lapangan Sains, namun dapat dilakukan terhadap berbagai pemecahan
problem sosial. Savage Amstrong mengemukakan bahwa model tersebut secara luas
dapat digunakan dalam proses pembelajaran Social Studies (Savage and
Amstrong, 1996). Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang
sanagt sesuai dengan karakteristik materil pendidikan Pengetahuan Sosial yang
bertujuan mengembangkan tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi
aktif baik sebagai anggota masyarakat dan warganegara.
b)
Langkah-langkah Inkuiri
Langkah-langkah
yang harus ditempuh di dalam model inkuiri pada hakekatnya tidak berbeda jauh
dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dikembangkan oleh John Dewey
dalam bukunya “How We Think”. Langkah-langkah tersebut antara lain:
· Langkah pertama, adalah orientation,
siswa mengidentifikasi masalah, dengan pengarahan dari guru terutama yang
berkaitan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
· Langkah kedua hypothesis,
yakni kegiatan menyusun sebuah hipotesis yang dirumuskan sejelas mungkin
sebagai antiseden dan konsekuensi dari penjelasan yang telah diajukan.
· Langkah ketiga definition,
yaitu mengklarifikasi hipotesis yang telah diajukan dalam forum diskusi kelas
untuk mendapat tanggapan.
· Langkah keempat exploration,
pada tahap ini hipotesis dipeluas kajiannya dalam pengertian implikasinya
dengan asumsi yang dikembangkan dari hipotesis tersebut.
· Langkah kelima evidencing,
fakta dan bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau pengujian bagi hipotesa
tersebut.
· Langkah keenam generalization,
pada tahap ini kegiatan inkuiri sudah sampai pada tahap mengambil kesimpulan
pemecahan masalah (Joyce dan Weil, 1980).
2) Model
Pembelajaran VCT
a) Makna
Pembelajaran VCT
VCT adalah
salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan
nilai. Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique,
merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan
nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT
berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa
tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang
dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah
peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa
melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan
kata lain, Djahiri (1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk
“melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan
terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga
masyarakat”.
b) Langkah
Pembelajaran Model VCT
Berkenaan
dengan teknik pembelajaran nilai Jarolimek merekomendasikan beberapa cara,
antara lain:
a. Teknik
evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok (group
evaluation)
Dalam teknik
evaluasi diri dan evaluasi kelompok pesertadidik diajak berdiskusi atau
tanya-jawab tentang apa yang dilakukannya serta diarakan kepada keinginan untuk
perbaikan dan penyempurnaan oleh dirinya sendiri:
1) Menentukan
tema, dari persoalan yang ada atau yang ditemukan peserta didik
2) Guru
bertanya berkenaan yang dialami peserta didik
3) Peserta
didik merespon pernyataan guru
4) Tanya jawab
guru dengan peserta didik berlangsung terus hingga sampai pada tujuan yang
diharapkan untuk menanamkan niai-nilai yang terkandung dalam materi tersebut.
b. Teknik Lecturing
Teknik lecturing,
dilalukan guru gengan bercerita dan mengangkat apa yang menjadi topik
bahasannya. Langkah-langkahnya antara lain:
1) Memilih satu
masalah / kasus / kejadian yang diambil dari buku atau yang dibuat guru.
2) Siswa
dipersilahkan memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan menggunakan kode,
misalnya: baik-buruk, salah benar, adil tidak adil, dsb.
3) Hasil kerja
kemudian dibahas bersama-sama atau kelompok kalau dibagi kelompok untuk
memberikan kesempatan alasan dan argumentasi terhadap penilaian tersebut.
c. Teknik
menarik dan memberikan percontohan
Dalam teknik
menarik dan memberi percontohan (example of axamplary behavior), guru
membarikan dan meminta contoh-contoh baik dari diri peserta didik ataupun
kehidupan masyarakat luas, kemudian dianalisis, dinilai dan didiskusikan.
d. Teknik
indoktrinasi dan pembakuan kebiasan
Teknik
indoktrinasi dan pembakuan kebiasan, dalam teknik ini peserta didik dituntut
untuk menerima atau melakukan sesuatu yang oleh guru dinyatakan baik, harus,
dilarang, dan sebagainya.
e. Teknik
tanya-jawab
Teknik
tanya-jawab guru mengangkat suatu masalah, lalu mengemukakan
pertanyaan-pertanyaan sedangkan peserta didik aktif menjawab atau mengemukakan
pendapat pikirannya.
f. Teknik
menilai suatu bahan tulisan
Teknik menila
suatu bahan tulisan, baik dari buku atau khusus dibuat guru. Dalam hal ini
peserta didik diminta memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan kode (misal:
baik - buruk, benar – tidak-benar, adil – tidak-adil dll). Cara ini dapat
dibalik, siswa membuat tulisan sedangkan guru membuat catatan kode
penilaiannya. Selanjutnya hasil kerja itu dibahas bersama atau kelompok untuk
memberikan tanggapan terhadap penilaian.
g. Teknik
mengungkapkan nilai melalui permainan (games). Dalam pilihan ini guru
dapat menggunakan model yang sudah ada maupun ciptaan sendiri.
3) Model
Bermain Peta
Keterampilan
menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan penting
dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial. Keterampilan menginterpretasi peta
maupun globe perlu dilakukan peserta didik secara fungsional. Peta dan globe
memberikan manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai
bentuk, besar, batas-batas suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang
lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi seperti: pulau, selat,
semnanjung, samudera, benua dan sebagainya; c) memahami peta dan globe,
diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, siswa mengerti tentang cara
menentukan tempat di bumi seperti arah mata angin, meridian, paralel, belahan
timur dan barat; (b) skala, merupakan model atau gambar yang lebih kecil dari
keadaan yang sebenarnya; (c) lambang-lambang, merupakan simbo-simbol yang mudah
dibaca tanpa ada keterangan lain; (d) warna, menggunakan berbagai warna untuk
menyatakan hal-hal tertentu misalnya: laut, beda tinggi daratan, daerah, negara
tertentu dsb.
4) Pendekatan
ITM (Ilmu-Teknologi dan Masyarakat)
a) Kebermaknaan
Model Pendekatan ITM
Pendekatan ITM
(Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS
(Science-Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas
kritik terhadap pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional (texbook),
yakni berkisar masih pada pengajaran tentang fakta-fakta dan teori-teori tanpa
menghubungkannya dengan dunia nyata yang integral. ITM dikembangkan kemudian
sebagai sebuah pendekatan guna mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan
langsung dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta
didik dalam mencari informasi untuk meemcahkan masalah yang ditemukan dalam
kehidupan kesehariannya. Pendekatan ITM menekankan pad aktivitas peserta didik
melalui penggunaan keterampilanproses dan mendorong berpikir tingkat tinggi,
seperti; melakukan kegiatan pengumpulan data, menganalisis data, melakukan
survey observasi, wawancara dengan masyarakat bahkan kegiatan di laboratorium
dsb. Oleh karena itu, permasalahan tentang kemasyarakatan sebagaimana adanya
tidak terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dijawab melalui
inkuiri. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut peserta didik menjadi lebih aktif
dalam menggali permasalahan berdasarkan pada pengalaman sendiri hingga mampu
melahirkan kerangka pemecahan masalah dan tindakan yang dapat dilakukan secara
nyata. Karena itu, pendekatan ITM dipandang dapat memberi kontribusi langsung
terhadap misi pokok pembelajaran pengetahuan sosial, khusus dalam mempersiapkan
warga negara agar memiliki kemampuan: a) memahami ilmu pengetahuan di
masyarakat, b) mengambil keputusan sebagai warga negara, c)
membuat hubungan antar pengetahuan, dan d) mengingat sejarah perjuangan
dan peradaban luhur bangsanya.
b) Langkah
Pendekatan ITM
Beberapa hal
yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran pendekatan ITM antara
lain:
1. Menekankan
pada paham kontruktivisme, bahwa setiap individu peserta didik, telah memiliki
sejumlah pengetahuan dari pengalamannya sendiri dalam kehidupan faktual di
lingkungan keluarga dan masyarakat.
2. Peserta
didik dituntut untuk belajar dalam memecahkan permasalahan dan dapat
menggunakan sumber-sumber setempat (nara sumber dan bahan-bahan lainnya) untuk
memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.
3. Pola
pembelajaran bersifat kooperatif (kerja sama) dalam setiap kegiatan
pembelajaran serta menekankan pada keterampilan proses dalam rangka melatih
peserta didik berfikir tingkat tinggi.
4. Peserta
didik menggali konsep-konsep melalui proses pembelajaran yang ditempuh dengan
cara pengamatan (observasi) terhadap objek-objek yang dipelajarinya.
5.
Masalah-masalah aktual sebagai objek kajian, dibahas bersama guru dan peserta
didik guna menghindari terjadi kesalahan konsep.
6. Pemilihan
tema-tema didasarakan urutan integratif.
7. Tema
pengorganisasian pokok dari sejumlah unit ITM adalah isu dan masalah sosial
yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
c) Tahapan
Metode Pendekatan ITM
(1) Tahap
Eksplorasi
Kegiatan
eksplorasi merupakan tahap pengumpulan data lapangan dan data yang berkaitan
dengan nilai. Peserta didik dengan bantuan LKS secara berkelompok melakukan
pengamatan langsung. Eksplorasi dilakukan guna membuktikan konsep awal yang
mereka miliki dengan konsep ilmiah.
(2) Tahap
Penjelasan dan Solusi
Dari data yang
telah terkumpul berdasarkan hasil pengamatan, diharapkan peserta didik mampu
memberikan solusi sebagai alternatif jawaban tentang persoalan lingkungan.
Peserta didik didorong untuk menyampaikan gagasan, menyimpulkan, memberikan
argumen dengan tepat, membuat model, membuat poster yang berkenaan dengan pesan
lingkungan, membuat puisi, menggambar, membuat karangan, serta membuat karya
seni lainnya.
(3) Tahap
Pengambilan Tindakan
Peserta didik dapat
membuat keputusan atau mempertimbangkan alternatif tindakan dan
akibat-akibatnya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah
diperolehnya. Berdasar pengenalan masalah dan pengembangan gagasan
pemecahannya, mereka dapat bermain peran (Role Playing) membuat
kebijakan strategis yang diperlukan untuk mempengaruhi publik dalam mengatasi
permasalahan lingkungan tersebut.
(4) Diskusi dan
Penjelasan
Berikutnya guru
dan peserta didik melakukan diskusi kelas dan penjelasan konsep melalui tahapan
sebagai berikut:
· Masing-masing kelompok melaporkan
hasil temuan pengamatan lingkungannya.
· Guru memberikan kesempatan kepada
anggota kelas lainnya untuk memberikan tanggapan atau informasi yang relevan
terhadap laporan kelompok temannya.
· Guru bersama peserta didik
menyimpulkan konsep baru yang diperoleh kemudian mereka diminta melihat kembali
jawaban yang telah disampaikan sebelum kegiatan eksplorasi.
· Guru membimbing peserta didik
merkonstruksi kembali pengetahuan langsung dari objek yang dipelajari tentang
alam lingkungannya.
(5) Tahap
Pengembangan dan Aplikasi Konsep
· Guru bertanya pada peserta didik
tentang hal-hal yang diliahat dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan
aplikasi konsep baru yang telah ditemukan.
· Guru dan peserta didik mendiskusikan
sikap dan kepedulian yang dapat mereka tumbuhkan dalam kehidupan sehari-hari
berkaitan dengan konsep baru yang telah ditemukan.
(6) Tahap
Evaluasi
Pada tahapan
evaluasi, guru memperlihatkan gambar suasana lingkungan yang berbeda yaitu
lingkungan yang terpelihara dan yang tidak terpelihara. Kemudian menggunakan
pertanyaan pancingan pada peserta didik sehingga mampu memberikan penilaian
sendiri tentang keadaan kedua lingkungan tersebut.
(7) Kegiatan
Penutup
Kegiatan
penutup merupakan kegiatan penyimpulan yang dilakukan guru dan peserta didik
dari seluruh rangkaian pembelajaran. Sebagai bagian penutup, guru menyampaikan
pesan moral.
5) Model Role
Playing
a) Kebermaknaan
Penggunaan Model Role Playing
Role Playing adalah salah
satu model pembelajaran yang perlu menjadi pengalaman belajar peserta didik,
terutama dalam konteks pembelajaran Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan
didalamnya. Sebagai langkah teknis, role playing sendiri tidak jarang
menjadi pelengkap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dengan stressing
model pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM, Portofolio, dan lainnya. Secara
komprehensif makna penggunaan role playing dikemukakan George Shaftel
(Djahiri, 1978: 109) antara lain:
1) untuk
menghayati sesuatu/hal/kejadian sebenarnya dalam realitas kehidupan; 2)
agar memahami apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3)
untuk mempertajam indera dan perasaan siswa terhadap sesuatu; 4) sebagai
penyaluran/pelepasan tensi (kelebihan energi psykhis) dan
perasaan-perasaan; 5) sebagai alat diagnosa keadaan; 6) ke arah
pembentukan konsep secara mandiri; 7) menggali peran-peran dari pada
dalam suatu kehidupan/kejadian/keadaan; 8) menggali dan meneliti
nilai-nilai (norma) dan peranan budaya dalam kehidupan; 9) membantu
siswa dalam mengklarifikasikan (memperinci) pola berpikir, berbuat dan
keterampilannya dalam membuat/ mengambil keputusan menurut caranya sendiri; 10)
membina siswa dalam kemampuan memecahakan masalah.
b) Langkah-langkah
Role Playing
Adapun
langkah-langkahnya, Djahiri (1978: 109) mengangkat urutan teknis yang
dikembangkan Shaftel yang terdiri dari 9 langkah dalam tabel berikut.
No.
|
Urutan Langkah
|
Kegiatan dan Pelakunya
|
1.
|
Penjelasan umum
|
1.1. Mencari atau mengemukakan permasalahan (oleh guru atau bersama
siswa).
1.2. Memperjelas masalah/ topik tersebut (guru).
1.3. Mencari bahan-bahan, keterangan atau penjelasan lebih lanjut, dengan
menunjukan sumbernya (guru & siswa).
1.4. Menjelaskan tujuan, makna dari role playing.
|
2.
|
Memilih para pelaku
|
2.1. Menganalisis peran yang harus dimainkan (guru bersama siswa).
2.2. Memilih para pelakunya (dibantu guru).
|
3.
|
Menentukan Observer
|
3.1. Menentukan observer dan menjelaskan tugas dan peranannya (guru &
siswa).
|
4.
|
Menentukan jalan cerita
|
4.1. gariskan jalan ceritanya.
4.2. tegaskan peran-peran yang ada didalamnya.
4.3. berikut gambaran situasi keadaan cerita tersebut (guru + siswa).
|
5.
|
Pelaksanaan (bermain)
|
5.1. Mulai melakonkan permainan tersebut
5.2. Menjaga agar setiap peran berjalan.
5.3. Jagalah agar babakan-babakan terlihat jelas.
|
No.
|
Urutan Langkah
|
Kegiatan dan Pelakunya
|
6.
|
Diskusi dan permainan
|
6.1. Telaah setiap peran, posisi, dan permainan.
6.2. diskusikan hal tersebut berikut saran perbaikannya.
6.3. Siapkan permainan ulangan.
|
7.
|
Permainan ulang dan diskusi serta
penelaahan
|
7.1. Seperti sub 5 dan sub 6
|
8.
|
Mempertukarkan pikiran, pengalaman
dan membuat kesimpulan
|
8.1. Setiap pelaku mengemukakan pengalaman, perasaan dan pendapatnya.
8.2. Observer mengemukakan penilaian pendapatnya.
8.3. Siswa dan guru membuat kesimpulan dan merangkainya dengan topik /
konsep yang sedang dipelajarinya.
|
6) Model
Portofolio
a) Makna
Pembelajaran Portofolio
Protofolio
dalam pendidikan mulai dipergunakan sebagai salah satu jenis model penilaian (Assesment)
yang berbasis produk, yakni penilaian yang didasarkan pada segala hasil yang
dapat dibuat atau ditunjukan peserta didik, kemudian dihimpun dalam sebuah ‘map
jepit’ (portofolio) untuk dijadikan bahan pertimbangan guru dalam memberikan
asesmen otentik terhadap kinerja peserta didik.
Sapriya
(Winataputra, 2002: 1.16) menegaskan bahwa: “portofolio merupakan karya
terpilih kelas/siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat
kebijakan publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah
kemasyarakatan”. Makna pembelajaran berbasis portofolio dalam pembelajaran
Pengetahuan Sosial adalah memperkenalkan kepada peserta didik dan membelajarkan
mereka “pada metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam proses politik”
kewarganegaraan/kemasyarakatan.
b)
Langkah-langkah Penbelajaran Portofolio
Secara teknis pendekatan portofolio
dimulai dengan membagi peserta didik dalam kelas ke dalam beberapa kelompok,
lajimnya dilakukan menjadi 4 atau sesuai menurut keadaan dan keperluannya.
Berdasarkan urutannya, setiap kelompok membidangi tugas dan tanggungjawab
masing-masing, antara lain:
(1) Kelompok
portofolio-satu; Menjelaskan masalah, dalam tugasnya kelompokini
bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah mereka pilih untuk
dikaji dalam kelas.
(2) Kelompok
portofolio-dua; Menilai kebijakan alternatif yang diusulkan untuk memecahkan
masalah, dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan
kebijakan saat ini dan atau kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah.
(3) Kelompok
portofolio-tiga; Membuat satu kebijakan publik yang didukung oleh kelas,
dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat satu kebijakan publik
tertentu yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta memberikan
pembenaran terhadap kebijakan tersebut.
(4) Kelompok
portofolio-empat; Membuat satu rencana tindakan agar pemerintah (setempat)
dalam masyarakat mau menerima kebijakan kelas. Dalam tugasnya kelompok ini
bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menujukkan
bagaimana warganegara dapat mempengaruhi pemerintah (setempat) untuk menerima
kebijakan yang didukung oleh kelas.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pendidikan IPS adalah disiplin
ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti:
sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, dan antropologi yang mempelajari
masalah-masalah sosial.
Dalam proses pendidikan IPS di SD,
pembelajarannya kurang memperhatikan karakteristik anak usia sekolah dasar,
yakni terkait dengan perkembangan psikologis siswa. Anak dalam kelompok usia SD
(6-12 tahun) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada
tingkatan konkrit operasional. Padahal bahan materi IPS penuh dengan
pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan,
lingkungan, ritual, akulturasi, demokrasi, nilai, peranan merupakan
konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada
siswa SD.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka
pembelajaran IPS dapat menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut diperlukanlah model pembelajaran yang sesuai
untuk materi IPS di SD dan memperhatikan karakteristik anak usia SD.
Adapun model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah pendidikan IPS di SD adalah :
a. Model
Inkuiri
b. Model
Pembelajaran VCT
c. Model
Bermain Peta
d. Pendekatan
ITM (Ilmu-Teknologi dan Masyarakat)
e. Model Role
Playing
f. Model
Portofolio
2. Saran
Dalam mengembangkan potensi peserta
didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, kita harus
memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang
terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik
yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Untuk mencapai
tujuan tersebut, program-program pelajaran IPS di sekolah haruslah
diorganisasikan secara baik.
Sejumlah model pendekatan
pembelajaran yang telah dijelaskan diatas, masing-masing mengedepankan
keunggulan dalam mengupayakan pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap
pengembangannya, namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin
berbeda. Oleh karena itu harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional
yang tentu tidak sama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Lamri Ichas Hamid dan Tuti
Istianti Ichas. 2006. Pengembangan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran
Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional
Comments
Post a Comment