Asal usul Negeri Jambi tercinta
Sejarah dan Asal Muasal Propinsi Jambi
Jambi adalah Sebuah Propinsi yang ibukotanyanya Kota Jambi. Kali ini saya
ingin mengajak Anda sekalian untuk menelaah lebih jauh tentang Propinsi Jambi.
Sebuah wilayah yang sejak dulu telah menjadi pusat Melayu di pulau Sumatra.
Tujuannya tiada lain hanya untuk kembali membangkitkan nilai nasionalisme dan
kepercayaan diri bangsa ini, dengan mengenang dan mengambil nilai-nilai luhur
yang pernah mereka wariskan.
1. Pendahuluan
Di Swarnadwipa (pulau emas) atau Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan dua kerajaan Hindu-Buddha pra-Islam. Sekitar abad ke 6 – awal 7 M, berdiri Kerajaan Melayu (Melayu Tua) yang terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal abad ke 7 M dan lagi pada abad ke 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China (Wang Gungwu 1958; 74). Kerajaan ini bersaing dengan Sri Wijaya untuk menjadi pusat perdagangan.
Di Swarnadwipa (pulau emas) atau Pulau Sumatera, Provinsi Jambi merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan dua kerajaan Hindu-Buddha pra-Islam. Sekitar abad ke 6 – awal 7 M, berdiri Kerajaan Melayu (Melayu Tua) yang terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal abad ke 7 M dan lagi pada abad ke 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China (Wang Gungwu 1958; 74). Kerajaan ini bersaing dengan Sri Wijaya untuk menjadi pusat perdagangan.
Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan
Sri Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu yang akhirnya tunduk
kepada Sri Wijaya. Muaro Jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi
mungkin dulu bekas pusat belajar agama Buddha sebagaimana catatan dari pendeta
China I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671 M. Ia belajar di Sri
Wijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 Masehi bersama empat pendeta
lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Buddha. Saat itulah ia menuulis
bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bagian dari Sri Wijaya.
Setelah Sri Wijaya mulai pudar di abad ke 11 Masehi, ibu negeri dipindahkan
ke Jambi (Wolters 1970: 2). Inilah Kerajaan Melayu (Melayu Muda) atau
Dhamasraya yang berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar, Jambi
juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan. Sebaliknya dari
pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari Cina, sutera dan
benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt & Rockhill 1964;
60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singosari di Jawa Timur menguasai
kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan
Raja Singosari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama
Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat
kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung
(pedalaman Minang atau Suruaso) dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347 M.
Kemudian di abad ke 15, Islam mulai menyebar di Nusantara.
2. Kesultanan Jambi
“Tanah Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat (India) berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disana. Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin Syeikh Sultan Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
“Tanah Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi. Dimana menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, kononnya Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat (India) berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan orang-orang Melayu disana. Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin Syeikh Sultan Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Di tempat baru ini, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam,
bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau
bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan empat orang anak,
kesemuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu
yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke
pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu menikahi
anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai. Oleh Temenggung
Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang Angsa serta Perahu
Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut dipesankan agar menghiliri
aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna mendirikan kerajaan yang
baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai tapak kerajaan baru nanti
haruslah tempat dimana sepasang angsa bawaan tadi mau naik ke tebing dan mupur
(berdiam) di tempat tersebut selama dua hari dua malam.
Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua angsa naik ke
darat di sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu.
Dan sesuai dengan amanah mertuanya, maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri
Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang
kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat pemerintahan kerajaannya
(Kota Jambi) sekarang ini.
3. Asal Nama “Jambi”
‘Jambi’ berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan yang baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
‘Jambi’ berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’. Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan yang baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.
Namun dari penjelasan di atas, ada versi lain yang menyebutkan bahwa kata
Jambi itu justru berasal dari bahasa Arab yang di tulis dalam tulisan Arab
(huruf Hijaiyah) dengan makna sahabat akrab. Demikian info dari teman
bloger saya yang bernama Ridcho:
“Berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel
bahwa Kerajaan Melayu Jambi dari abad ke 7 s.d. abad ke 13 merupakan bandar
atau pelabuhan dagang yang ramai. Disini berlabuh kapal-kapal dari berbagai
bangsa, seperti: Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya.
Berkenaan dengan itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan
bahwa sebelum Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri
Melayu bernama Puteri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir
ke Arab, dan tidak kembali. Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama
Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke
Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu
menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka
sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak
mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali
ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat
Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab yang secara harfiah
berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’
atau ’sahabat akrab’.”
Demikianlah pendapat yang kedua, dengan alasan jika memang dulunya Orang
Kayo Hitam menyebut pinang dengan kata jambe seharusnya putri pinang masak itu
namanya Putri Jambe Masak. Jadi menurut saya (pendapat teman bloger saya yang
bernama M.Isa. Ansyori) kata jambi itu bukannlah diambil dari bahasa Jawa,
mengingat hingga sekarang masyarakat Jambi dari dulu tetap menyebut pinang
dengan istilah pinang, tidak pernah menyebutnya dengan kata jambe, kecuali
orang Jawa yang sudah tinggal di Jambi yang menyebutnya dengan kata jambe.
4. Keris Siginjai
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun, keris Siginjai tidak hanya sekedar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi. Selama 400 tahun, keris Siginjai tidak hanya sekedar lambang mahkota kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.
Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad
Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai, ada sebuah keris lagi
yang dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh
Pangeran Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903M Pangeran Ratu Martaningrat
keturunan Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada
Residen Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung Gajah) di
Batavia (Jakarta).
5. Slogan Jambi: “Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah”
Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya
wilayah Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala
pemerintahan Orang Kayo Hitam, yaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo,
Jebus, Aer Itam, Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat
bahwa wilayah Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak
sungai (batang), masing-masing bernama : 1. Batang Asai 2. Batang Merangin 3.
Batang Masurai 4. Batang Tabir 5. Batang Senamat 6. Batang Jujuhan 7. Batang
Bungo 8. Batang Tebo dan 9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak
Sungai Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu
Jambi.
6. Senarai (silsilah) Sultan Jambi (1790-1904)
1). 1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
2). 1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
3). 1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
4). 1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
5). 1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
6). 1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
7). 1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
8). 1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
9). 1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
10). 1904 Dihancurkan Belanda
1). 1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
2). 1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
3). 1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
4). 1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
5). 1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
6). 1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
7). 1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
8). 1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
9). 1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
10). 1904 Dihancurkan Belanda
7. Provinsi Jambi
Wilayah propinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah – mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, Yaitu :
1). Muara Jambi – beribunegeri di Sengeti
2). Bungo – beribunegeri di Muaro Bungo
3). Tebo – beribunegeri di Muaro Tebo
4). Sarolangun – beribunegeri di Sarolangun Kota
5). Merangin/Bangko – beribunegeri di Kota Bangko
6). Batanghari – beribunegeri di Muara Bulian
7). Tanjung Jabung Barat – beribunegeri di Kuala Tungkal
8). Tanjung Jabung Timur – beribunegeri di Muara Sabak
9). Kerinci – beribunegeri di Sungai Penuh
Wilayah propinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9 daerah – mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah bertukar, Yaitu :
1). Muara Jambi – beribunegeri di Sengeti
2). Bungo – beribunegeri di Muaro Bungo
3). Tebo – beribunegeri di Muaro Tebo
4). Sarolangun – beribunegeri di Sarolangun Kota
5). Merangin/Bangko – beribunegeri di Kota Bangko
6). Batanghari – beribunegeri di Muara Bulian
7). Tanjung Jabung Barat – beribunegeri di Kuala Tungkal
8). Tanjung Jabung Timur – beribunegeri di Muara Sabak
9). Kerinci – beribunegeri di Sungai Penuh
Pada akhir abad ke 19, di daerah Jambi terdapat kerajaan atau Kesultanan
Jambi. Pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh seorang Sultan dibantu oleh
Pangeran Ratu (Putra Mahkota) yang mengepalai Rapat Dua Belas yang merupakan
Badan Pemerintahan Kerajaan.
Wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah sebagaimana
tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam Rajo”
yang artinya: Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sembilan lurah yaitu sembilan
negeri atau wilayah dan batangnya Alam Rajo yaitu daerah teras kerajaan yang
terdiri dari dua belas suku atau daerah.
Secara geografis keseluruhan daerah Kerajaan Jambi dapat dibagi atas dua
bagian besar yakni:
* Daerah Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
* Daerah Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
* Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan.
* Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin pengadilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah pemerintahan marga terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh penghulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.
* Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Bengkulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.
* Khusus Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam pemerintahannya dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan mengkoordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
* Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
* Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
* Daerah Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
* Daerah Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
* Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, di Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum, pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan.
* Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh Marga juga memimpin pengadilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah pemerintahan marga terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh penghulu atau kepala dusun atau Kepala Kampung.
* Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari 10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh, Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau, Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang, Karesidenan Bengkulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka Belitung.
* Khusus Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam pemerintahannya dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen dengan mengkoordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
* Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau. Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran sungai Batanghari.
* Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.
* Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak”
diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal
yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut
“liar” adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki
tempat tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi
dengan dunia luar sama sekali masih tertutup.
* Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa.
* Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung, dsb.
* Pakaian. Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
* Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Turun Mandi, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, Ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
* Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa.
* Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang kaya, orang kampung, dsb.
* Pakaian. Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
* Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia, Kelahiran, Turun Mandi, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, Ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah terimo pusako dan Kematian.
8. Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:
1). Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
2). Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, berbentuk Bidang Dasar Segi Lima, menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.
3). Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;
4) Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;
5). Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi.
1). Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
2). Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, berbentuk Bidang Dasar Segi Lima, menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.
3). Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;
4) Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;
5). Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi.
Gambar 4. Foto: Logo
Propinsi Jambi
Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha
Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-wilayah
Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan masuk ke dalam
wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L Helfrich yang
diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20 tanggal 4 Mei
1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.
Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9
Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada 14
Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945
diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi
tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai
ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan
Gubernurnya. Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera
bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub
Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera
Selatan.
¨
<> <> .......................... <> <> <> <> <> <>
Comments
Post a Comment