** Macam-macam Teori Belajar di SD berdasarkan lingkungan sekitarnya
A. Pengertian
Belajar Kognitif
Belajar kognitif
memandang belajar sebagai proses memfungsikan unsur-unsur kognisi, terutama
unsur pikiran, untuk dapat mengenal dan memahami stimulus yang datang dari
luar. Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal
berfikir, yakni proses pengolahan informasi.
Teori belajar kognitif
lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal
pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar
adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi
aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha yang
melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari
proses interaksi aktif dengan lingkungannya untuk memperoleh suatu perubahan
dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, ketrampilan dan nilai sikap
yang bersifat relatif dan berbekas.
Teori belajar kognitif ini memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama
dan utama yang perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta
didik, karena kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh
mana fungsi kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal
melalui sentuhan proses pendidikan.
Peranan
guru menurut teori belajar kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi yang ada pada setiap
peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan
di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi
pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Pengetahuan
tentang kognitif peserta didik perlu dikaji secara mendalam oleh para calon
guru dan para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa
pengetahuan tentang kognitif peserta didik guru akan mengalami kesulitan dalam
membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya
kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses
belajar mengajar antara guru dengan peserta didik
B. Tokoh-Tokoh Teori Belajar Kognitif
1.
PIAGIET
Dalam teorinya, Piaget
memandang bahwa proses berpikir sebagai aktivitas gradual dari fungsi
intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah ahli psikolog
developmentat karena penelitiannya mengenai tahap tahap perkembangan pribadi
serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemapuan mental yang
sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektuan adalah tidak kuantitatif,
melainkan kualitatif. Dengan kata lain, daya berpikir atau kekuatan mental anak
yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif.
Jean Piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi beberapa
tahap yaitu:
a. Tahap sensory
– motor, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 0-2
tahun, Tahap ini diidentikkan dengan kegiatan motorik dan persepsi yang masih
sederhana.
Cirri-ciri tahap sensorimotor :
1) Didasarkan
tindakan praktis.
2) Inteligensi
bersifat aksi, bukan refleksi.
3) Menyangkut
jarak yang pendek antara subjek dan objek.
4) Mengenai
periode sensorimotor:
5) Umur
hanyalah pendekatan. Periode-periode tergantung pd banyak faktor lingkungan
sosial dan kematangan fisik.
6) Urutan
periode tetap.
7) Perkembangan
gradual dan merupakan proses yang kontinu.
b. Tahap pre
– operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia 2-7
tahun. Tahap ini diidentikkan dengan mulai digunakannya symbol atau bahasa
tanda, dan telah dapat memperoleh pengetahuan berdasarkan pada kesan yang agak
abstrak.
c. Tahap concrete
– operational, yang terjadi pada usia 7-11 tahun. Tahap ini dicirikan
dengan anak sudah mulai menggunakan aturan-aturan yang jelas dan logis. Anak
sudah tidak memusatkan diri pada karakteristik perseptual pasif.
d. Tahap formal
– operational, yakni perkembangan ranah kognitif yang terjadi pada usia
11-15 tahun. Ciri pokok tahap yang terahir ini adalahanak sudah mampu berpikir
abstrak dan logisdengan menggunakan pola pikir “kemungkinan”.
Dalam pandangan Piaget,
proses adaptasi seseorang dengan lingkungannya terjadi secara simultan melalui
dua bentuk proses, asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi jika pengetahuan
baru yang diterima seseorang cocok dengan struktur kognitif yang telah dimiliki
seseorang tersebut. Sebaliknya, akomodasi terjadi jika struktur
kognitif yang telah dimiliki seseorang harus direkonstruksi / di kode ulang
disesuaikan dengan informasi yang baru diterima.
Dalam teori perkembangan
kognitif ini Piaget juga menekankan pentingnya penyeimbangan (equilibrasi)
agar seseorang dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuan sekaligus
menjaga stabilitas mentalnya.Equilibrasi ini dapat dimaknai sebagai sebuah
keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamya. Proses perkembangan intelek seseorang
berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi
Menurut Jean Piagiet,
bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a. Asimilasi yaitu
proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif
yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui
prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa),
dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu yang disebut
asimilasi.
b. Akomodasi yaitu
penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa
diberi soal perkalian, maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian
tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan)
yaitu penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar
siswa tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang
bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses
penyeimbangan antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
Proses belajar yang
dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lain dengan yang dialami
seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (pra-operasional) dan lain lagi
yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi
(operasional kongrit dan operasional formal). Jadi, secara umum, semakin tinggi
tingkat kognitif seseorang, semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara
berfikirnya.
Dikemukakannya pula,
bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan
teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
2.
AUSUBEL
Menurut Ausubel, siswa
akan belajar dengan baik jika “pengatur kemajuan (belajar)” atau advance
organizer didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat
kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang
mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.
David Ausubel merupakan
salah satu tokoh ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan
belajar siswa sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang
dipelajari. Ausubel menggunakan istilah “pengatur lanjut” (advance
organizers) dalam penyajian informasi yang dipelajari peserta didik agar
belajar menjadi bermakna.
Selanjutnya dikatakan
bahwa “pengatur lanjut” itu terdiri dari bahan verbal di satu pihak, sebagian
lagi merupakan sesuatu yang sudah diketahui peserta didik di pihak
lain. Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak
pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa..
Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan lebih
bermakna dari pada kegiatan belajar. Dengan ceramahpun asalkan informasinya
bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistimatis akan diperoleh
hasil belajar yang baik pula.
Ausubel
mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu (1) belajar
dengan penemuan yang bermakna, (2) belajar dengan ceramah yang bermakna, (3)
Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, dan (4) belajar dengan ceramah
yang tidak bermakna. Dia berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan
bermakna, karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan
informasi yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah
dimilikinya. Dengan demikian bahwa belajar itu akan lebih berhasil jika
materi yang dipelajari bermakna.
3.
BRUNER
Menurut
Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan situasi agar mahasiswa
dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan eksperimen untuk
menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas baginya. Dari sudut
pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang
dipandang efektif untuk meningkatkan kualitas output
pendidikan adalah pengembangan program-program pembelajaran yang
dapat mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual pembelajar pada
setiap jenjang belajar.
Sebagaimana
direkomendasikan Merril, yaitu jenjang yang bergerak dari tahapan
mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan
konsep, prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin
keilmuan atau keahlian yang sedang dipelajari.
Dalam teori
belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan
berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau
kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga
tahap. Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal
untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap
transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan
baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk
hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah
hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Bruner mempermasalahkan
seberapa banyak informasi itu diperlukan agar dapat ditransformasikan
. Perlu Anda ketahui, tidak hanya itu saja namun juga ada empat
tema pendidikan yaitu: (1) mengemukakan pentingnya arti struktur pengetahuan,
(2) kesiapan (readiness) siswa untuk belajar, (3) nilai intuisi dalam
proses pendidikan dengan intuisi, (4) motivasi atau keinginan untuk belajar siswa,
dan curu untuk memotivasinya.
Dengan demikian Bruner
menegaskan bahwa mata pelajaran apapun dapat diajarkan secara
efektif dengan kejujuran intelektualkepada anak, bahkan dalam
tahap perkembangan manapun. Bruner beranggapan bahwa anak
kecilpun akan dapat mengatasi
permasalahannya, asalkan dalam kurikulum berisi tema-tema hidup, yang
dikonseptualisasikan untuk menjawab tiga pertanyaan.Berdasarkan uraian di
atas, teori belajar Bruner dapat disimpulkan bahwa, dalam proses belajar
terdapat tiga tahap, yaitu informasi, trasformasi, dan evaluasi. Lama tidaknya
masing-masing tahap dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain banyak
informasi, motivasi, dan minat siswa.
Bruner juga memandang
belajar sebagai “instrumental conceptualisme” yang mengandung makna adanya
alam semesta sebagai realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena
itu, pikiran manusia dapat membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran
umum pada konsep yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan
kognitif seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon
terhadap stimulus yang dihadapi. Perkembangan itu banyak tergantung kepada
peristiwa internalisasi seseorang ke dalam sistem penyimpanan yang sesuai
dengan aspek-aspek lingkungan sebagai masukan.
Teori belajar psikologi
kognitif memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat
mengembangkan fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan
maksimal. Faktor kognitif bagi teori belajar
kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang perlu
dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena
kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauhmana fungsi
kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui
sentuhan proses pendidikan.
Peranan
guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan
potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi kognitif yang
ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual
oleh proses pendidikan di sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan
memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui
proses belajar mengajar di kelas.
Bloom dan Krathwohl
menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang
tercakup dalam tiga kawasan yang diantaranya
: Kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu :
1.
Pengetahuan (mengingat, menghafal),
2.
Pemahaman (menginterpretasikan),
3.
Aplikasi / penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah),
4.
Analisis (menjabarkan suatu konsep),
5.
Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh),
6.
Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
Oleh karena itu para
ahli teori belajar psikologi kognitif berkesimpulan bahwa salah
satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di
kelas ialah faktor kognitif yang dimiliki oleh peserta didik.
Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan yang
diperoleh peserta didik melalui kegiatan belajar mandiri maupun kegiatan
belajar secara kelompok.
C. Macam-macam
Teori Belajar Kognitif
Yang termasuk teori belajar kognitif
adalah:
1. Teori belajar Pengolahan Informasi
Gambar
tersebut menunjukkan titik awal dan akhir dari peristiwa pengolahan informasi.
Garis putus-putus menunjukkan batas antara kognitif internal dan dunia
eksternal. Dalam model tersebut tampak bahwa stimulus fisik seperti cahaya,
panas, tekanan udara, ataupun suara ditangkap oleh seseorang dan disimpan
secara cepat di dalam sistem penampungan penginderaan jangka pendek. Apabila
informasi itu diperhatikan, maka informasi itu disampaikan ke memori jangka
pendek dan sistem penampungan memori kerja. Apabila informasi di dalam kedua
penampungan tersebut diulang-ulang atau disandikan, maka dapat dimasukkan ke
dalam memori jangka panjang.
Kebanyakan, peristiwa lupa terjadi karena informasi di dalam memori jangka
pendek tidak pernah ditransfer ke memori jangka panjang. Tapi bisa juga terjadi
karena seseorang kehilangan kemampuannya dalam mengingat informasi yang telah
ada di dalam memori jangka panjang. Bisa juga karena interferensi, yaitu
terjadi apabila informasi bercampur dengan atau tergeser oleh informasi lain.
2. Teori belajar Kontruktivisme
Teori belajar Kontruktivisme
memandang bahwa:
Belajar berarti mengkontruksikan makna
atas informasi dari masukan yang masuk ke dalam otak, yang diantaranya:
v Peserta didik harus menemukan dan mentransformasikan informasi kompleks ke
dalam adirinya sendiri.
v Peserta didik sebagai
individu yang selalu memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan
prinsip-prinsip yang telah ada dan merevisi prinsip-prinsip tersebut apabila
sudah dianggap tidak bisa digunakan lagi.
v Peserta didik
mengkontruksikan pengetahuannya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya.
Teori Kontruktivisme menetapkan 4
asumsi tentang belajar, yaitu:
· Pengetahuan secara fisik dikonstruksikan oleh peserta didik yang terkibat dalam
belajar aktif.
· Pengetahuan secara simbolik dikonstruksikan oleh peserta didik yang membuat
representasi atas kegiatannya sendiri.
· Pengetahuan secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang
menyampaikan maknanya kepada orang lain.
· Pengetahuan secara teoritik dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba
menjelaskan obyek yang tidak benar-benar dipahaminya
Slavin menyarankan 3 strategi belajar efektif, yaitu:
ü Membuat catatan
ü Belajar kelompok
ü Menggunakan metode PQ4R
(preview, question, read, reflect, recite, review)
D.
Belajar Sebagai Proses Kognitif
Teori kognitif adalah
teori yang umumnya dikaitkan dengan proses belajar. Kognisi adalah kemampuan
psikis atau mental manusia yang berupa mengamati, melihat, menyangka,
memperhatikan, menduga dan menilai. Dengan kata lain, kognisi menunjuk pada
konsep tentang pengenalan. Teori kognitif menyatakan bahwa proses belajar
terjadi karena ada variabel penghalang pada aspek-aspek kognisi seseorang
(Mulyati, 2005)
Teori belajar kognitif
lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar
tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu
belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah
perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu
berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.
Dari beberapa teori
belajar kognitif diatas (khusunya tiga di penjelasan awal) dapat pemakalah
ambil sebuah sintesis bahwa masing masing teori memiliki kelebihan dan
kelemahan jika diterapkan dalam dunia pendidikan juga pembelajaran. Jika
keseluruhan teori diatas memiliki kesamaan yang sama-sama dalam ranah psikologi
kognitif, maka disisi lain juga memiliki perbedaan jika diaplikasikan dalam
proses pendidikan.
Sebagai misal, Teori
bermakna ausubel dan discovery Learningnya bruner memiliki sisi pembeda. Dari
sudut pandang Teori belajar Bermakna Ausubel memandang bahwa justeru ada bahaya
jika siswa yang kurang mahir dalam suatu hal mendapat penanganan dengan teori
belajar discoveri, karena siswa cenderung diberi kebebasan untuk mengkonstruksi
sendiri pemahaman tentang segala sesuatu. Oleh karenanya menurut teori belajar
Bermakna guru tetap berfungsi sentral sebatas membantu mengkoordinasikan
pengalaman-pengalaman yang hendak diterima oleh siswa namun tetap dengan
koridor pembelajaran yang bermakna.
Dari poin diatas dapat
penulis ambil garis tengah bahwa beberapa teori belajar kognitif diatas,
meskipun sama-sama mengedepankan proses berpikir, tidak serta merta dapat
diaplikasikan pada konteks pembelajaran secara menyeluruh. Terlebih untuk
menyesuaikan teori belajar kognitif ini dengan kompleksitas proses dan sistem
pembelajaran sekarang maka harus benar-benar diperhatikan antara karakter
masing-masing teori dan kemudian disesuakan dengan tingkatan pendidikan maupun
karakteristik peserta didiknya.
BAB I
PENDAHULUAN
aA. Latar Belakang
Saat ini terdapat beragam inovasi
baru di dalam dunia pendidikan terutama pada proses pembelajaran. Salah satu
inovasi tersebut adalah konstruktivisme. Pemilihan pendekatan ini lebih
dikarenakan agar pembelajaran membuat siswa antusias terhadap persoalan yang
ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Pembelajaran di kelas
masih dominan menggunakan metode ceramah dan tanya jawab sehingga kurang
memberikan kesempatan kepada siswa untuk berintekrasi langsung kepada
benda-benda konkret. Seorang guru perlu memperhatikan konsep awal siswa sebelum
pembelajaran. Jika tidak demikian, maka seorang pendidik tidak akan berhasil
menanamkan konsep yang benar, bahkan dapat memunculkan sumber kesulitan belajar
selanjutnya. Mengajar bukan hanya untuk meneruskan gagasan-gagasan pendidik
pada siswa, melainkan sebagai proses mengubah konsepsi-konsepsi siswa yang
sudah ada dan di mana mungkin konsepsi itu salah, dan jika ternyata benar maka
pendidik harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut biar lebih
matang.
Maka dari permasalahan tersebut,
kami melakukan penelitian konsep untuk mengetahui bagaimana sebenarnya hakikat
teori belajar konstruktivisme ini bisa mengembangkan keaktifan siswa dalam
mengkonstruk pengetahuannya sendiri, sehingga dengan pengetahuan yang
dimilikinya peserta didik bisa lebih memaknai pembelajaran karena dihubungkan
dengan konsepsi awal yang dimiliki siswa dan pengalaman yang siswa peroleh dari
lingkungan kehidupannya sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
devinisi dari teori konstruktivisme ?
2. Bagaimanakah
konsep dasar dari teori Konstruktivisme ?
3. Bagaimana implementasi
teori konstruktivisme ?
C. Tujuan
1. Memahami dan
mengerti devinisi dari teori konstruktivisme
2. Memahami dan
mengerti dari adanya konsep dasar teori konstruktivisme
3. Memahami dan
mengerti cara mengaplikasikan teori konstruktivisme dalam sistem pembelajaran
BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Belajar
Menurut Behaviorisme
Menurut teori behaviorisme, belajar adalah
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan
respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa
dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai
hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya.[1] Misalnya, seorang guru
mengajari siswanya membaca, dalam proses pembelajaran guru dan siswa
benar-benar dalam situasi belajar yang diinginkan, walaupun pada akhirnya hasil
yang dicapai belum maksimal. Namun, jika terjadi perubahan terhadap siswa yang
awalnya tidak bisa membaca menjadi membaca tetapi masih terbata-bata, maka
perubahan inilah yang dimaksud dengan belajar. Contoh lain misalnya, anak belum
dapat berhitung perkalian. Walaupun ia sudah berusaha giat, dan gurunyapun
sudah mengajarkannya dengan tekun, namun jika anak tersebut belum dapat
mempraktekkan perhitungan perkalian, maka ia belum dianggap belajar. Karena ia
belum dapat menunjukkan prilaku sebagai hasil belajar.
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan
atau input yang berupa
stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons. Dalam contoh di atas,
stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa misalnya daftar
perkalian, alat peraga, pedoman kerja atau cara-cara tertentu, untuk membantu
belajar siswa, sedangkan respons adalah reaksi atau tanggapan siswa terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. [2] Dalam teori ini
tingkah laku dalam belajar akan berubah apabila ada stimulus dan respons.
Stimulus dapat berupa perlakuan yang diberikan kepada siswa, sedangkan respons
berupa tingkah laku yang terjadi pada siswa.[3]
Menurut teori behaviorisme, apa yang terjadi
diantara stimulus dan respons dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak
dapat diamati dan dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati hanyalah stimulus
dan respons. Oleh karena itu, apa saja yang diberikan guru (stimulus), dan apa
saja yang dihasilkan siswa (respons), semuanya harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang
penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang juga dianggap penting oleh
aliran behavior adalah faktor pengutan (reinforcement). Penguatan adalah apa saja yang dapat
memperkuat timbulnya respon bila pengutan ditambahkan maka respon semakin kuat.
Begitu juga bila pengutan dikurangi responpun akan tetap dikuatkan. Misalnya,
ketika peserta didik diberi tugas oleh guru, ketika tugasnya ditambahkan maka
ia akan semakin giat belajarnya. Maka penambahan tugas tersebut merupakan
penguat positif (positive
reinforcement)
dalam brlajar. Bila tugas-tugas dikurangi dan pengurangan itu justru
meningkatkan aktifitas belajarnya, maka pengurangan tugas merupakan penguatan
negatif (negative reinforcement) dalam belajar.
Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan
atau dikurangi untuk memungkinkan terjadinya respon.[4]
B. Tokoh-tokoh
Behaviorisme
Tokoh aliran behaviorisme diantaranya adalah Ivan
Petrovich Pavlov, Thorndike, Waston, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner.
1. Ivan Petrovich Pavlov
Ivan Petrovich Pavlo atau lebih dikenal dengan
nama singkat Pavlov, adalah seorang lulusan sekolah kependetaan dan melanjutkan
belajar ilmu kedokteran di Militery Medical Acadeny, St. Petersburg. Pada tahun
1879, ia mendapatkan gelar ahli ilmu pengetahuan alam.[5]
Akhir tahun 1800-an, Ivan Pavlov, ahli fisika
Rusia, mempelopori munculnya proses kondisioning responden (respondent conditioning) atau kondisioning
klasik (clasical conditionig), karena itu
disebut kondisioning Ivan Pavlov. Dari penelitian bersama kolegnya, Ivan Pavlov
mendapat Nobel.
Ivan Pavlov melakukan eksperimen terhadap anjing,
Pavlov melihat selama penelitian ada perubahan dalam waktu dan rata-rata
keluarnya air liur pada anjing (salivation). Pavlov mengamati, jika daging diletakkan dekat
mulut anjing yang lapar, anjing akan mengeluarkan air liur. Hal ini terjadi
karena daging telah menyebabkan rangsangan pada anjing, sehingga secara
otomatis ia mengeluarkan air liur. Walau pun tanpa latihan atau dikondisikan
sebelumnya, anjing pasti akan mengeluarkan air liur jika dihadapkan pada
daging. Dalm percobaan ini, daging disebut dengan stimulus yang tidak
dikondisikan (unconditionied
stimulus).
Dan karena salvia itu terjadi
secara otomatis pada saat daging diletakkan di dekat anjing tanpa latihan atau
pengkondisian, maka keluarnya salvia pada anjing tersebut dinamakan sebagai respon
yang tidak dikondisikan (unresponse
conditioning).
Kalau daging dapat menimbulkan salvia pada anjing
tanpa latihan atau pengalaman sebelumnya, maka stimulus lain, seperti bel,
tidak dapat menghasilkan selvia. Karena stimulus tersebut tidak menghasilkan
respon, maka stimulus (bel) tersebut disebut dengan stimulus netral (neutral stimulus). Menurut
eksperimen Palvo, jika stimulus netral (bel) dipasngkan dengan daging dan
dilakukan secara berulang, maka stimulus netral akan berubah menjadi stimulus
yang dikondisikan (conditioning stimulus) dan memiliki kekuatan yang sama untuk
mengarahkan respon anjing seperti ketika ia melihat daging. Oleh karena itu,
bunyi bel sendiri akan dapat menyebabkan anjing akan mengeluarkan selvia.
Proses ini dinamakan classical
conditioning.[6]
Bila ditelusuri, Pavlov yang pada saat ini
meneliti anjingnya sendiri, melihat bahwa bubuk daging membuat seekor anjing
mengeluarkan air liur. Maka yang dilakukan pavlvo adalah sebelum memberikan
bubuk daging itu ada membunyikan bel terlebih dahulu. Setelah dilakukan
beberapa kali pengulangan, maka anjing itu akan mengeluarkan air liurnya
setelah mendengar bel berbunyi, meski tidak diberikan daging lagi.
Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov, dapat
disimpulkan bahwa:
- Anjing belajar dari
kebiasaan.
- Dengan pengulangan
bunyi bel sehingga mengeluarkan air liur.
- Bunyi bel merupakan
stimulus yang akhirnya akan menghasilkan respon bersyarat.
- Bunyi bel yang pada
mulanya netral tetapi setelah disertai mediasi berupa bubuk daging,
lama-kelamaan berubah menjadi daya yang mampu membangkitkan respon.
Berdasarkan hasil eksperimen itu Pavlov
menyimpulkan bahwa hasil eksperimennya juga dapat diterapkan pada manusia untuk
belajar. Impilkasi hasil eksperimen tersebut pada belajar manusia adalah:[7]
- Belajar adalah
membentuk asosiasi antara stimulus respon secara selektif.
- Proses belajar akan
berlangsung apabila diberi stimulus bersyarat.
- Prinsip belajar pada
dasarnya merupakan untaian stimulus-respon.
- Menyangkal adanya
kemampuan bawaan.
- Adanya clasical conditioning.
Eksperimen Pavlov tersebut kemudian dikembangkan
oleh pengikutnya yaitu BF. Skinner (1933) dan hasilnya dipublikasikan dengan
judul Behavior
Organism.
Prinsip-prinsip kondisioning klasik ini dapat diterapkan di dalam kelas.
Woolfolk dalam Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni (2007), menyatakan sebagai
berikut:
1. Memberikan suasana
yang menyenangkan ketika memberikan tugas-tugas belajar, misalnya menekankan
kepada kerja sama, dan kompitisi antar kelompok individu. Membuat kegiatan
membaca menjadi menyenangkan dengan menciptakan ruang baca yang nyaman dan enak
serta menarik dan lain sebagainya.
2. Membantu siswa
mengatasi secara bebas dan sukses situasi-situasi yang mencemaskan atau
menekan, misalnya: mendorong siswa yang pemalu untuk mengajarkan siswa lain
cara memahami materi pelajaran, membuat tahap jangka pendek untuk mencapai
tujuan jangka panjang, misalnya dengan memberikan tes harian, mingguan, agar
siswa dapat menyimpan apa yang dipelajari dengan baik.
3. Membantu siswa untuk
mengenal perbedaan dan persamaan terhadap situasi-situasi sehingga mereka dapat
membedakan dan menggeneralisasikan secara tepat. Misalnya, meyakinkan siswa
yang cemas ketika menghadapi ujian masuk sekolah yang lebih tinggi tingkatannya
atau perguruan tiggi, bahwa tes tersebut sama dengan tes-tes akademik lainnya
yang pernah mereka lakukan.
2. Edward LeeThorndike
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan
sekaligus psikolog berkebangsaan Amerika. Edward awalnya melakukan penelitian
tentang prilaku binatang sebelum tertarik pada psikologi manusia.[8] dan pertama kali
mengadakan eksperimen hubungan stimulus dan respon dengan hewan kucing melalui
prosedur yang sistematis. Ekseperimennya yaitu:
a. Kucing yang lapar
dimasukkan ke dalam kotak kerangkeng (puzzle box) yang dilengkapi pembuka bila
disentuh.
b. Di luar diletakkan
daging. Kucing dalam kerangkang bergerak kesana kemari mencari jalan keluar,
tetapi gagal. Kucing terus melakukan usaha dan gagal, keadaan ini berlangsung
terus-menerus.
c. Tak lama kemudian
kucing tanpa sengaja menekan tombol sehingga tanpa sengaja pintu kotak kerangkeng
terbuka dan kucing dapat memakan daging di depannya.
Percobaan Thorndike tersebut diulang-ulang dan
pola gerakan kucing sama saja namun makin lama kucing dapat membuka pintunya.
Gerakan usahanya makin sedikit dan efisien. Pada kucing tadi terlihat ada kemajuan-kemajuan
tingkah lakunya. Dan akhirnya kucing dimasukkan dalam box terus dpat menyentuh
tombol pembuka (sekali usaha, sekali terbuka), hingga pintu terbuka.
Thorndike menyatakan bahwa prilaku belajar
manusia ditentukan oleh stimulus yang ada di lingkungan sehingga menimbulkan
respon secara refleks. Stimulus yang terjadi setelah sebuah prilaku terjadi
akan mempengaruhi prilaku selanjutnya. Dari eksperimen ini Thorndike telah
mengembangkan hukum Law
Effect. Ini berarti jika
sebuah tindakan diikuti oleh sebuah perubahan yang memuskan dalam lingkungan,
maka kemungkinan tindakan itu akan diulang kembali akan semakin meningkat.
Sebaliknya jika sebuah tindakan diikuti oleh perubahan yang tidak memuaskan,
maka tindakan itu menurun atau tidak dilakukan sama sekali. Dengan kata lain,
konsekuen-konsekuen dari prilaku sesorang akan memainkan peran penting bagi
terjadinya prilaku-prilaku yang akan datang.[9]
Menurut Thorndike, belajar adalah proses
interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal
lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi
yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran,
perasaan, atau gerakan dan tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka
menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat
brwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau yang tidak kongkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. [10]
3. Burrhus Frederic
Skinner
Skinner dilahirkan pada 20 Mei 1904 di
Susquehanna Pennylvania, Amerika Serikat. Masa kanak-kanaknya dilalui dengan
kehidupan yang penuh dengan kehangatan namun, cukup ketat dan disiplin.meraih
sarjana muda di Hamilton Colladge, New York, dalam bidang sastra Inggris. Pada
tahun 1928, Skinner mulai memasuki kuliah psikologi di Universitas Harvard
dengan mengkhususkan diri pada bidang tingkah laku hewan dan meraih doktor pada
tahun 1931.
Dari tahun 1931 hingga1936, Skinner bekerja di
Harvard. Penelitian yang dilakukannya difokuskan pada penelitian menegenai
sistem syaraf hewan. Pada tahun 1936 sampai 1945, Skinner meneliti karirnya
sebagai tenaga pengajar pada universitas Mingoesta. Dalam karirnya
Skinner menunjukkan produktivitasnya yang tinggi sehingga ia dikukuhkan sebagai
pemimpin Brhaviorisme yang terkemuka di Amerika Serikat.[11]
Skinner merupakan seorang tokoh behavioris yang
meyakini bahwa perilaku individu dikontrol melalui proses operant conditioning
dimana seseorang dapat mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif besar.
Menagement kelas menurut skinner adalah berupa
usaha untuk memodifikasi perilaku antara lain dengan proses penguatan yaitu
memberi penghargaan pada perilaku yang diinginkan dan tidak memberi imbalan
apapun pada perilaku yang tidak tepat. Operant Conditioningadalah suatu proses
perilaku operant (penguatan positif atau negatif) yang dapat mengakibatkan
perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai dengan
keinginan.
Teori belajar behaviorisme ini telah lama dianut
oleh para guru dan pendidik, namun dari semua pendukuung teori ini, teori
Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
Behaviorisme. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine,
pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang
berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor
penguat merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori
belajar yang dikemukakan oleh skinner.[12]
Menurut skinner – berdasarkan percobaanya
terhadap tikus dan burung merpati – unsur terpenting dalam belajar adalah
penguatan. Maksudnya adalah penguatan yang terbentuk melalui ikatan stimulus
respon akan semakin kuat bila diberi penguatan ( penguatan positif dan
penguatan negatif).
Bentuk penguatan positif berupa hadiah, perilaku,
atau penghargaan. Sedangkan bentuk penguatan negatif adalah antara lain menunda
atau tidak memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan, atau menunjukkan
perilaku tidak senang.
Skinner tidak sependapat pada asumsi yang
dikemukakan Guthrie bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses
pelajar. Hal tersebut dikarenakan menurut skinner :
1. Pengaruh hukuman terhadap
perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2. Dampak psikologis yang buruk
mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari
jiwa terhukum) bila hukuman
berlangsung lama.
3. Hukuman mendorong si terhukum mencari
cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman.
4 Hukuman dapat mendorong si terhukum
melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk dari
pada kesalahan pertama yang diperbuatnya.[13]
Skinner lebih
percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus
diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang akan muncul berbeda dengan respon
yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi
agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seseorang siswa perlu
dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan
kesalahan, maka hukumannya harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu yang tidak
mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah
ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahnnya,
maka inilah yang disebut penganut negatif. Lawan dari penganut negatif adalah
penguat positif (positive
reinforcement).
Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah bahwa penguat
positif itu ditambah, sedangkan penganut negatif adalah dikurangi untuk
memperkuat respon.[14]
4. Edwin Ray Guthrie
Edwin Ray Guthrie adalah seorang penemu teori
kontinguiti yaitu gabungan
stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung
akan diikuti oleh gerakan yang sama. Guthrie juga menggunakan variabel hubungan
stimulus respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi
karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan
tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan hanya sekedar melindungi
hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan
respon yang baru.
Teori guthrie ini mengatakan bahwa hubungan
stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karenanya dalam kegiatan belajar,
peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stumulus dan
respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa
hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman
yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.[15]
Salah asatu eksperimen Guthrie untuk mendukung
teori kontiguitas adalah percobaannya terhadap kucing yang dimasukkan ke dalam
kotak puzle. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapai dengan
alat yang bila disentuh dapat membuka kotak puzle tersebut. Selain itu, kotak
tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing
di dalam kotak. Alat tersebut menunjukkan bahwa kucing telah belajar mengulang
gerakan-gerakan sama yang diasosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya
ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut. Dari hasil eksperimen tersebut,
muncul beberapa prinsip dalam teori kontiguitas, yaitu:
- Agar terjadi
pembiasaan, maka organisme selalu merespon atau melakukan sesuatau
- Pada saat belajar
melibatkan pembiasaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena itu
intruksi yang diberikan harus spesifik.
- Keterbukaan terhadap
berbagai stimulus yang ada merupakan keinginan untuk menghasilkan respon
secara umum.
- Respon terakhir
dalam belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang akan diasosiasikan.
-
5. Jhon Broadus Waston
Waston adalah seorang tokoh aliran
behaviorisme yang datang setelah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respo yang
dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur.
Dengan kata lain, walupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam
diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut
sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa
perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting. Namun semua itu tidak
dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat
diamati.[17]
Waston adalah seorang behavioris murni, karena
kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika
atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu
sejauh dapat diamati dan diukur. Asumsinya bahwa, hanya dengan cara demikianlah
maka akan dapat diramalkan perubahan-perubahan apa yang bakal terjadi setelah
seseorang melakukan tindakan belajar. Para tokoh aliran behaviorisme cenderung
untuk tidak memperhatikan hal-hal yang tidak dapat diukur dan tidak dapat
diamati, seperti perubahan-perubahan mental yang terjadi ketika belajar,
walaupun demikian mereka tetap mengakui hal itu penting.[18]
6. Clark Hull
Hull berpendirian bahwa tinkah laku itu berfungsi
menjaga agar oranisasi tetap bertahan hidup. Konsep sentral dalam teorinya
berkisar pada kebutuhan biologis dan pemuas kebutuhan, hal yang penting bagi
kelangsungan hidup. Oleh Hull, kebutuhan ddikonsepkan sebagai dorongan (drive) seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa
nyeri, dan sebagainya. Stimulus yang disebut stimulus dorongan dikaitkan dengan
dorongan primer dan karena itu mendorong timbulnya tigkah laku. Sebagai contoh,
stimulus yang dikaitkan dengan rasa nyeri, seperti bunyi alat pengebor gigi,
dapat menimbulkan rasa takut, dan takut itu mendorong timbulnya tingkah laku.[19]
Teori Hull ini, memiliki beberapa prinsip, yaitu
· Dorongan merupakan
hal yang penting agar terjadi respon (siswa harus memiliki keinginan untuk
belajar).
· Stimulus dan respon
harus dapat diketahui oleh organisme agar pembiasaan dapat terjadi (siswa harus
mempunyai perhatian).
· Respon harus dibuat
agar terjadi pembiasaan (siswa harus aktif).
· Pembiasaan hanya
terjadi jika reinforcement dapat melalui kebutuhan (belajar harus dapat
memenuhi keinginan siswa).[20]
Secara ringkas teori behaviorisme yang
dikemukakan oleh para ahli di atas dapat disempulkan bahwa:
1. Belajar adalah
perubahan tingkah laku
2. Tingkah laku
tersebut harus dapat diamati
3. Mengikuti pentingnya
masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa
respon.
4. Fungsi mind atau
fikiran adalah untuk menciplak struktur pengetahuan yang sudah ada melalui
proses berfikir yang dapat dianalisis dan dipilah.
5. Pembiasaan dan
latihan menjadi esensial dalam belajar.
6. Apa yang terjadi
antara stimulus dan respon dianggap tidak penting diperhatikan karena tidak
dapat diamati.
7. Yang dapat diamati
hanyalah stimulus respon.
8. Kegagalan atau
ketidakmampuan dalam penambahan pengetahauan dikatagorikan sebagai kegagalan
yang perlu dihukum
9. Aplikasi teori ini
menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari
dalam bentuk laporan, kuis atau tes. Penyajian materi pelajaran mengikuti
urutan dari bagian-bagian keseluruhan. Pembelajaran dan evalusi menekan pada
hasil, dan evaluasi menuntut jawaban yang benar. Jawaban yang benar menunjukkan
bahwa siswa telah menyelesaikan belajaranya.[21]
10. Proses belajar
sangat bergantung kepada faktor yang berada di luar dirinya, sehingga ia
memerlukan stimulus dari pengajarnya.
11. Hasil belajar banyak
ditentukan oleh proses peniruan, pengulanagn dan pengutan (reinforcement).
12. Belajar harus
melalui tahap-tahap tertentu, sedikit demi sedikit, yang mudah mendahului yang
lebih sulit.[22]
C. Kelebihan dan Kekurangan dalam Teori
Pembelajaran Behaviorisme
Kelebihan, kekurangan dan permasalahan yang
muncul dalam pembelajaran
Sesuai dengan teori ini, guru dapat menyusun bahan
pelajaran dalam bentuk yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang harus
dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberikan
ceramah, tetapi intruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan
sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hirarki dari
yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian
kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera
diperbaiki. Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan
dapat menjadi kebiasaan.
a. Kelebihan
Dalam teknik pembelajaran yang merujuk ke teori
behaviourisme terdapat beberapa kelebihan di antaranya :
1. Membiasakan guru untuk bersikap
jeli dan peka pada situasi dan kondisi belajar.
2. Metode behavioristik ini
sangat cocok untuk memperoleh kemampuan yang menbutuhkan praktek dan pembiasaan
yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan,
refleksi, daya tahan, dan sebagainya.
3. Guru tidak banyak memberikan
ceramah sehingga murid dibiasakan belajar mandiri. Jika menemukan
kesulitan baru ditanyakan kepada guru yang bersangkutan.
4. Teori ini cocok diterapkan
untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa ,
suka mengulangi dan harus dibiasakan , suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.[23]
b. kekurangan.
1. Memandang belajar
sebagai kegiatan yang dialami langsung, padahal belajar adalah kegiatan yang
ada dalam sistem syaraf manusia yang tidak terlihat kecuali melalu gejalanya.
2. Proses belajar
dipandang bersifat otomatis-mekanis sehingga terkesan seperti mesin atau robot,
padahal manusia mempunyai kemampuan self control yang bersifat kognitif, sehingga,
dengan kemampuan ini, manusia mampu menolak kebiasaan yang tidak sesuai dengan
dirinya.
3. Proses belajar
manusia yang dianalogikan dengan hewan sangat sulit diterima, mengingat ada
perbedaan yang cukup mencolok antara hewan dan manusia.[24]
D. Penerapan Teori Behaviorisme dalam
Pembelajaran Bahasa Arab
Para pakar Psikologi belajar bahasa penganut
faham Behaviorisme berpendapat bahwa belajar bahasa berlangsung dalam lima
tahap, yaitu:
a. Trial and error
b. Mengingat-ingat
c. Menirukan
d. Mengasosiasikan
e. Menganalogikan
Dari kelima langkah tersebut dapat disimpulkan
bahwa berbahasa pada dasarnya merupakan proses pembentukan kebiasaan.[25]
Dalam teori ini Behaviorisme, segala tingkah laku
manusia menjadi suatu prilaku berbahsa yang menjadi manifestasi stimulus dan
respon yang dilakukan terus-menerus menjadi suatu kebiasaan. Berdasarkan teori
ini, pembelajaran bahasa dilakukan dengan mendahulukan pengenalan keterampilan
mendengar dan berbicara daripada keterampilan lainnya, pemberian
latihan-latihan dan penggunaan bahasa secara aktif dan terus menerus,
penciptaan lingkungan berbahasa yang kondusif, penggunaan media pembelajaran
yang memungkinkan siswa mendengar dan berinteraksi dengan penutur asli,
pembiasaan motivasi sehingga berbahsa asing menjadi sebuah prilaku kebiasaan.[26]
Ada beberapa kegiatan pembelajaran bahasa Arab
yang dapat dikembangkan berdasarkan teori ini, diantara yang penting adalah:
a. Pengenalan
ketrampilan mendengar dan berbicara sebagai awal dalam pembelajaran sebelum
ketrampilan membaca dan menulis.
b. Latihan dan
penggunaan bahasa secara aaktif dan terus menerus agar pembelajar memiliki
ketrampilan berbahasa dan berbentuk kebiasaan menggunakan bahasa.
c. Penciptaan
lingkungan berbahsa yang kondusif agar mendukung proses pembiasaan berbahasa
secara efektif.
d. Penggunaan media
pembelajaran yang memungkinkan pembelajar mendebgar dan berinteraksi dengan
penutur asli.
e. Memotivasi guru
bahasa untuk tampil berbahsa secara baik dan benar, sehingga dapat menjadi
teladan yang baik bagi para siswanya dalam berbahasa.[27]
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan
menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran bahasa arab adalah lingkungan
(bi’ah, einvironment), tak terkecuali
lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab, tak lain
adalah:
1. Untuk membiasakan
dalam memanfaatkan bahasa Arab secara komunikatif, melalui praktek percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah dan berekpresi melalui tulisan (ta’bir dan tahriry)
2. Memberikan penguatan
(reinforcement) pemerolehan baha yang sudah dipelajari di kelas.
3. Menumbuhkan
kreativitas dan aktivitas berbahasa Arab yang terpadu antara teori dan praktik
dalam suasana informal yang santai dan menyenangkan.
BAB III
PENUTUP
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama
dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah
yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar
behavioristik. Program-program pembelajaran sepertiTeaching Machine, pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada
konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program
pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Karakteristik teori behaviorisme terhadap
pembelajaran bahasa diantaranya adalah: penyajian materi lebih banyak dengan
hiwar, lebih banyak melakukan peniruan dan menghafal idiom-idiom, menyajikan
satu kalimat dalam satu situasi, tidak menyajikan strukstur nahwu secara
terpisah, dan lebih baik dengan sistem deduktif, lebih menitik beratkan pada
ujaran, lebih banyak menggunakan bahasa dalam komunikasi dan banyak menggunakan
lab bahasa, memberikan reward bagi respon positif, mensuport untuk berbahasa,
perhatian lebih pada bahasa bukan isi bahasa.
Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi dan
menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa adalah lingkungan (bi'ah, environment), tak terkecuali
lingkungan berbahasa. Dan tujuan penciptaan lingkungan berbahasa Arab , tidak
lain adalah (1) untuk membiasakan dan membiasakan dalam memanfaatkan bahasa
Arab secara komunikatif, melalui praktik percakapan (muhadatsah), diskusi (munaqasyah), seminar (nadwah), ceramah dan berekspresi melalui tulisan (ta'bir tahriry); (2) memberikan
penguatan (reinforcement) pemerolehan bahasa
yang sudah dipelajari di kelas; dan (3) menumbuhkan kreativitas dan aktivitas
berbahasa Arab yang terpadu anatara teori dan praktik dalam suasana informal
yang santai dan menyenangkan.
A. Pengertian Teori
Belajar Konstruktivisme
Kontruktivisme adalah proses
membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam stuktur kognitif siswa
berdasarkan pengalaman. Pengetahuan itu terbentuk bukan dari objek semata, akan
tetapi juga dari kemampuan individu sebagai subjek yang menangkap setiap objek
yang di amatinya. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari
luar akan tetapi dikontruksi dalam diri seseorang. Oleh sebab itu tidak
bersifat statis akan tetapi bersifat dinamis. Tergantung individu yang melihat
dan mengkontruksinya.[1]
Teori yang melandasi pembelajaran
kooperatif adalah teori konstruktivisme. Pada dasarnya pendekatan teori
konstruktivisme dalam belajar adalah suatu pendekatan di mana siswa harus
secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks,
memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.[2]
Teori konstruktivisme didefinisikan
sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang
memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara
stimulus respon, konstruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan
manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada
pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan
merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita
selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Demikian ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Model pembelajaran
ini dikembangkan dari teori belajar konstruktivisme yang lahir dari gagasan
Pieget dan vigotsky.
B. Ciri-ciri
Pembelajaran Konstruktivisme
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat
ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:[3]
1. Menekankan
pada proses belajar, bukan proses mengajar
2. Mendorong
terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3. Memandang
siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4. Berpandangan
bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5. Mendorong
siswa untuk melakukan penyelidikan
6. Menghargai
peranan pengalaman kritis dalam belajar
7. Mendorong
berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8. Penilaian
belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9. Berdasarkan
proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10. Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk
menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi,
dan analisis
11. Menekankan
bagaimana siswa belajar
12. Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam
dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13. Sangat
mendukung terjadinya belajar kooperatif
14. Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15. Menekankan
pentingnya konteks siswa dalam belajar
16. Memperhatikan
keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17. Memberikan
kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang
didasarkan pada pengalaman nyata
C. Konsep Dasar
Konstruktivisme
Berikut ini merupakan beberapa
konsep kunci dari teori konstruktivisme antara lain:
1. Siswa
Sebagai Individu yang Unik
Teori konstruktivisme berpandangan
bahwa pembelajar merupakan individu yang unik dengan kebutuhan dan latar
belakang yang unik pula. Dalam teori ini tidak hanya memperkenalkan keunikan
dan kompleksitas pembelajar tetapi juga secara nyata mendorong, memotivasi dan
memberi penghargaan kepada siswa sebagai integral dari proses pembelajaran.
2. Self Regulated Leaner (Pembelajar yang dapat mengelola diri sendiri
)
Siswa dikembangkan menjadi seorang
yang memiliki pengetahuan tentang strategi belajar yang efektif, yang sesuai
dengan gaya belajarnya dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan pengetahuan
itu dalam situasi pembelajaran yang berbeda. Self Regulated Leaner termotivasi
untuk belajar oleh dirinya sendiri, bukan dari nilai yang diperolehnya sebagai
hasil belajar atau karena motivasi eksternal yang lain, misalnya dari guru atau
orang tuanya.
3. Tanggung
jawab Pembelajaran
Dalam konstruktivisme ini
berpandangan bahwa tanggung jawab belajar bertumpu kepada siswa. Teori ini
menekankan bahwa siswa harus aktif dalam proses pembelajaran, dan berbeda
pendapat dengan pandangan pendidikan sebelumnya yang menyatakan tanggung jawab
pembelajaran lebih kepada guru, sedangkan siswa berperan secara pasif dan
reseptif. Disini para pembelajar mencari makna dan akan mencoba mencari
keteraturan dari berbagai kejadian yang ada di dunia, bahkan seandainya
informasi yang tersedia tidak lengkap.
4. Motivasi
Pembelajaran
Motivasi belajar secara kuat
bergantung kepada kepercayaan siswa terhadap potensi belajarnya sendiri.
Perasaan kompeten dan kepercayaan terhadap potensi untuk memecahkan masalah
baru, diturunkan dari pengalaman langsung di dalam menguasai masalah pada masa
lalu. Maka dari itu belajar dari pengalaman akan memperoleh kepercayaan diri,
serta motivasi untuk menyelesaikan masalah yang lebih kompleks lagi.
5. Peran Guru
Sebagai Fasilitator
Jika seorang guru menyampaikan
kuliah/ceramah yang menyangkut pokok bahasan, maka fasilitator membantu siswa
untuk memperoleh pemahamannya sendiri terhadap pokok bahasan/konten kurikulum.
6. Kolaborasi
Antarpembelajar
Pembelajar dengan keterampilan dan
latar belakang yang berbeda diakomodasi untuk melakukan kolaborasi dalam
penyelesaian tugas dan diskusi-diskusi agar mencapai pemahaman yang sama
tentang kebenaran dalam suatu wilayah bahasan yang spesifik.
7. Proses
Top-Down (Proses dari Atas ke Bawah)
Dalam proses ini siswa diperkenalkan
dulu dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dengan bantuan guru
menemukan keterampilan-keterampilan dasar yang diperlukan untuk memecahkan
masalah seperti itu. Pada prinsipnya pembelajaran dimulai dengan pemberian dan
pelatihan keterampilan-keterampilan dasar dan secara bertahap diberikan
keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks.[4]
D. Model
Pembelajaran Konstruktivisme
Salah satu contoh yang disarankan
adalah memulai dari apa yang menurut siswa hal yang biasa, padahal sesungguhnya
tidak demikian. Perlu diupayakan terjadinya situasi konfik pada struktur
kognitif siswa. Contohnya mengenai cecak atau cacing tanah. Mereka menduga
cecak atau cacing tanah hanya satu macam, padahal keduanya terdiri lebih dari
satu genus (bukan hanya berbeda species). Berikut ini akan dicontohkan model
untuk pembelajaran mengenai cacing tanah melalui ketiga tahap dalam
pembelajaran konstruktivisme (ekplorasi, klarifikasi, dan aplikasi)
Fase Eksplorasi
· Diperlihatkan tanah berisi cacing dan diajukan
pertanyaan: “Apa yang kau ketahui tentang cacing
tanah?”.
· Semua jawaban siswa ditampung (ditulis dipapan tulis
jika perlu).
· Siswa diberi kesempatan untuk memeriksa keadaan yang
sesungguhnya, dan diberi kesempatan untuk merumuskan hal-hal yang tidak sesuai
dengan jawaban mereka semula.
Fase Klarifikasi
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
· Guru memperkealkan macam-macam cacing dan spesifikasinya.
· Siswa merumuskan kembali pengetahuan mereka tentang
cacing tanah.
· Guru memberikan masalah berupa pemilihan cacing yang
cocok untuk dikembangbiakkan.
· Siswa mendiskusikannya secara berkelompok dan
merencanakan penyelidikan.
· Secara berkelompok siswa melakukan penyelidikan
untuk menguji rencananya.
· Siswa mencari tambahan rujukan tentang manfaat
cacing tanah dulu dan sekarang.
Fase Aplikasi
· Secara berkelompok siswa melaporkan hasilnya,
dilanjutkan dengan penyajian oleh wakil kelompok dalam diskusi kelas.
· Secara bersama-sama siswa merumuskan rekomendasi
untuk para pemula yang ingin ber-“ternak cacing” tanah.
· Secara perorangan siswa membuat tulisan tentang
perkehidupan jenis cacing tanah tertentu sesuai hasil pengamatannya.[5]
E. Peranan
(Implementasi) Teori Konstruktivisme di Kelas
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran
konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparka tentang penerapan di
kelas.[6]
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam
belajar
Dengan menghargai gagasan-gagasan
atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru
membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang
merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya
berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka
sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver).
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan
kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu
yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain.
Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya
akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan.
3. Mendorong siswa berpikir tingkat
tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran
konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang
berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa
untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi,
justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya.
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau
diskusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan
interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk
mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki
kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan
gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya
sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman
dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan
terjadi di kelas.
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan
mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat
berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis
tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hipotesis yang
mereka buat, terutama melalui diskusi kelompok dan pengalaman nyata.
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama,
dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan
menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa
untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena
alam tersebut secara bersama-sama.[7]
Selain itu yang paling penting
adalah guru tidak boleh hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa .
siswa harus membangun pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat
membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi
sangat bermakna dan sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan
mengajak siswa agar menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri
untuk belajar. Guru dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu
nantinya dimaksudkan dapat membantu mereka mencapai tingkat pemahaman yang
lebih tinggi , tetapi harus diupayakan agar siswa itu sendiri yang memanjatnya.
Dari uraian tersebut dapat dikatakan,
bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana
pesrta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka
pelajari dan merupakan proses menyelesaikan konsep dan ide-ide baru dengan
kerangka berfikir yang telah ada dan dimilikinya (Shymansky,1992).
Dalam mengkonstruksi pengetahuan
tersebut peserta didik diharuskan mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis
dan mempunyai kemampuan untuk mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari
jawaban dari persoalan yang ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan
ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.[8]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pada dasarnya Teori konstruktivisme
disini diartikan sebagai suatu pendekatan di mana siswa harus secara individual
menemukan dan menstransformasikan informasi yang kompleks, memeriksa informasi
dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu.
Konsep dasar konstruktivisme
merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina pengetahuan dirinya secara
aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Peranan (Implementasi) Teori
Konstruktivisme bila diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong
kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan
terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon.
c) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. d) Siswa terlibat secara aktif
dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya. e) Siswa terlibat
dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi. f) Guru
memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Dalyono, Psokologi
pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6
Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang, Jakarta:
Erlangga, 2008.
Rusman, Model-Model Pada
Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2, Jakarta: Rajawali
Press, 2012.
Suyono, Belajar dan
Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011.
Wasty, Soemanto, Psikologi
Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1998.
Winasanjaya, Pembelajaran
dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi Jakarta: Kencana,
2005.
[1] Winasanjaya, Pembelajaran
dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi (Jakarta:KENCANA,2005), hal 118.
[2] Rusman, Model-Model
Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2 (Jakarta: Rajawali Press, 2012),
201.
[4] Suyono, Belajar dan
Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar (PT Remaja Rosdakarya: Bandung, 2011), 111-115.
[6] Ormrod, Jeanne., Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang (Jakarta:
Erlangga, 2008), 78.
[8] Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan ( Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998),
89-90.
Comments
Post a Comment