Belajar dan teori pembelajaran dari segi pendidikan sekolah dasar
Belajar adalah proses perubahan tingkah
laku yang berupa pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Perubahan ini bersifat
menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau
pengalaman. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual, artinya proses
belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangannya dan
lingkungannya. Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa,
bukan dibuat oleh siswa.
Pembelajaran pada hakekatnya adalah suatu
proses interaksi antara anak dengan lingkungannnya baik antar anak dengan anak,
anak dengan sumber belajar, maupun anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran
ini akan menjadi bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman
dan memberikan rasa aman bagi anak. Pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya
pendidik untuk membantu peserta didik dalam melaksanakan kegiatan belajar, demi
mencapai hasil belajar yang memuaskan (Isjoni, 2009).
David Ausubel (1963) seorang ahli
psikologi pendidikan menyatakan bahwa bahan pelajaran yang dipelajari harus
“bermakna’ (meaningfull). Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses
mengkaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam
struktur kognitif seorang. Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep,
dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan dingat siswa. Belajar
bermakna menurut Ausubel (1963) merupakan proses mengaitkan informasi atau
materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Ada
tiga faktor yang mempengaruhi kebermaknaan dalam suatu pembelajaran, yaitu
struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu
bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sehubungan dengan hal
ini, Dahar (1996) mengemukakan dua prasyarat terjadinya belajar bermakna,
yaitu: (1) materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial, dan (2)
anak yang akan belajar harus bertujuan belajar bermakna. Di samping itu,
kebermaknaan potensial materi pelajaran bergantung kepada dua faktor, yaitu (1)
materi itu harus memiliki kebermaknaan logis, dan (2) gagasan-gagasan yang
relevan harus terdapat dalam struktur kognitif peserta didik.
Muchlas Samani (2007) mengemukakan bahwa
apapun metode pembelajarannya, maka harus bermakna (meaningfull learning).
Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada
konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Struktur
kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep dan generalisasi-generalisasi yang
telah dipelajari dan diingat siswa.
Suparno (1997) mengatakan, bahwa
pembelajaran bermakna adalah suatu proses pembelajaran dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seorang yang sedang
dalam proses pembelajaan. Pembelajaran bermakan terjadi bila siswa mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Artinya,
bahan pelajaran itu harus cocok dengan kemampuan siswa dan harus relevan dengan
struktur kognitif yang dimiliki siswa. Oleh karena itu, pelajaran harus
dikaitkan dengan konsep-konsep yang sudah dimilki siswa, sehingga konsep-konsep
baru tersebut benar-benar terserap olehnya. Dengan demikian, faktor intelektual
emosional siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran bermakna adalah pembelajaran
yang menyenangkan yang akan memiliki keunggulan dalam meraup segenap informasi
secara utuh sehingga konsekuensi akhir meningkatkan kemampuan
siswa. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Pembelajaran bermakna ditandai oleh terjadinya
hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan
komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar
tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan
kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh,
sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah
dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar bermakna maka guru harus
selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep yang telah dimiliki
peserta didik dan membantu memadukannya secara harmonis konsep-konsep tersebut
dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan. Jadi belajar akan lebih bermakna
jika anak mengalami langsung apa yang dipelajarinya dengan mengaktifkan lebih
banyak indera daripada hanya mendengarkan orang/guru menjelaskan. Belajar
bermakna memiliki kondisi-kondisi sebagai berikut:
·
Menjelaskan
hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-bahan lama.Lebih dahulu
memberikan ide yang paling umum kemudian hal-hal yang lebih terperinci
·
Menunjukkan
persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan lama
·
Mengusahan
agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnyasebelum ide yang baru disajikan.
Menurut Nana (2005) dalam
pembelajaran terdapat syarat-syarat yang dapat menunjang terciptanya
pembelajaran bermakna yaitu:
·
Bahan
yang dipelajari harus dihubungkan dengan struktur kognitif secara substansial
dan degan beraturan.
·
Siswa
memiliki konsep yang sesuai dengan bahan yang akan dihubungkan.
·
Siswa
harus memiliki kemauan untuk menghubungkan konsep tersebut dengan struktur
kognitifnya secara substansial dan beraturan pula.
Ausubel dalam Dahar (1989) menggemukakan
tiga kebaikan dari belajar bermakna yaitu:
·
Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.
·
Informasi
yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses belajar berikutnya untuk
materi pelajaran yang mirip.
·
Informasi
yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar hal-hal yang mirip walaupun
telah terjadi lupa.
Pembelajaran bermakna erat kaitannya
dengan teori konstruktivisme pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator
Constructivism). Paham ini berpendapat bahwa siswa mengkonstruksikan
pengetahuan atau menciptakan makna sebagai hasil dari pemikiran dan
berinteraksi dalam suatu konteks sosial. Teori belajar ini merupakan teori
tentang penciptaan makna. Selanjutnya, teori ini dikembangkan oleh Piaget (Piagetian
Psychological Constructivism) yang menyatakan bahwa setiap individu menciptakan
makna dan pengertian baru berdasarkan interaksi antara apa yang telah dimiliki,
diketahui dan dipercayai dengan fenomena, ide atau informasi baru yang
dipelajari. Piaget menjelaskan bahwa setiap siswa membawa pengertian dan
pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses belajar yang
harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh
informasi yang dijumpai dalam proses belajar. Itulah sebabnya Vygotsky
menyatakan bahwa proses belajar tidak dapat dipisahkan dari aksi (aktivitas)
dan interaksi karena persepsi dan aktivitas berjalan seiring secara dialogis.
Belajar merupakan proses penciptaan makna sebagai hasil dari pemikiran individu
dan melalui interaksi dalam suatu konteks sosial. Penciptaan makna terjadi pada
dua jenjang, yaitu pemahaman mendalam (inert understanding) dan
pemahaman terpadu (integrated understanding). Hal demikian bisa terwujud
melalui partisipasi aktif antara guru dan siswa, saling menghormati dan
menghargai. Setiap individu dapat belajar, menciptakan makna, dan berkreasi
berdasarkan konteks komunitas budayanya masing-masing. Dalam hubungan ini,
David Ausubel (1963) mengklasifikasikan belajar dalam dua dimensi. Pertama,
menyangkut cara penyajian materi diterima oleh peserta didik.Melalui dimensi
ini, peserta didik memperoleh materi/informasi melalui penerimaan dan penemuan.
Maksudnya peserta didik dapat mengasimilasi informasi/materi pelajaran dengan
penerimaan dan penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik
dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang
telah ada. Jika peserta didik hanya mencoba-coba menghafalkan informasi atau
materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep atau hal
lainnya yang ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut
dengan belajar hafalan.Sebaliknya, jika peserta didik
menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau
hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang
disebut dengan belajar bermakna.
Ausubel membedakan belajar menjadi belajar
menerima dan belajar menemukan. Pada belajar menerima, bentuk akhir dari
sesuatu yang diajarkan itu diberikan, sedangkan belajar menemukan bentuk akhir
itu harus dicari peserta didik. Selain itu Ausubel juga membedakan antara
belajar bermakna dan belajar menghafal. Belajar bermakna adalah suatu proses di
mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai
seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal diperlukan untuk
memperoleh informasi baru seperti definisi. Menurut teori belajar bermakna,
belajar menerima dan belajar menemukan keduanya dapat menjadi belajar bermakna
apabila konsep baru atau informasi baru dikaitkan dengan konsep-konsep yang
telah ada dalam struktur kognitif peserta didik. Langkah-langkah kegiatan yang
mengarah pada timbulnya pembelajaran bermakna adalah sebagai berikut:
·
Orientasi
mengajar tidak hanya pada segi pencapaian prestasi akademik, melainkan juga
diarahkan untuk mengembangkan sikap dan minat belajar serta potensi dasar
siswa.
·
Topik-topik
yang dipilih dan dipelajari didasarkan pada pengalaman anak yang relevan.
Pelajaran tidak dipersepsi anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh
guru, melainkan sebagai bagian dari atau sebagai alat yang dibutuhkan dalam
kehidupan anak.
·
Metode
mengajar yang digunakan harus membuat anak terlibat dalam suatu aktivitas
langsung dan bersifat bermain yang menyenangkan.
·
Dalam
proses belajar perlu diprioritaskan kesempatan anak untuk bermain dan bekerjasama
dengan orang lain.
·
Bahan
pelajaran yang digunakan hendaknya bahan yang konkret
·
Dalam
menilai hasil belajar siswa, para guru tidak hanya menekankan aspek kognitif
dengan menggunakan tes tulis, tetapi harus mencakup semua domain perilaku anak
yang relevan dengan melibatkan sejumlah alat penilaian.
Pembelajaran bermakna bisa terjadi jika
relevan dengan kebutuhan peserta didik, disertai motivasi instrinsik dan
kurikulum yang tidak kaku. Kejadian belajar bermakna didorong oleh hasrat dan
intensitas keingintahuan peserta didik tentang bidang studi tertentu. Dalam
hubungan ini, Rogers (1969) mengemukakan tentang iklim kelas yang memungkinkan
terjadinya belajar bermakna, yaitu sebagai berikut:
·
Terimalah
peserta didik apa adanya.
·
Kenali dan bina peserta didik melalui penemuannya
terhadap diri sendiri.
·
Usahakan sumber belajar yang mungkin dapat diperoleh
peserta didik untuk dapat memlilh dan menggunakannya.
·
Gunakan pendekatan iquiry-discovery.
·
Tekankan pentingnya pendekatan diri sendiri dan
biarkan peserta didik mengambil tanggung jawab sendiri untuk memenuhi tujuan
belajarnya.
Comments
Post a Comment